Perempuan Inspiratif: Aktif Kegiatan Kemahasiswaan di Tengah Mengemban Tanggung Jawab Biologis

 


Kami melihat sebuah privilage bukan hanya soal kekayaan dan status sosial. Tetapi, setiap kesempatan, diberikan kesadaran untuk memaksimalkan bagian, tumbuh dalam keluarga yang sehat jasmani dan rohani, serta mendukung cita-cita kita adalah sebuah privalage. Hak istimewa dan manfaat yang hadir dari beberapa kondisi tersebut sering jauh dari tafsir privilage. Selama ini secara tidak sadar kita hanya menafsirkannya dalam ruang lingkup yang perspektif duniawi, uang, dan jabatan tinggi. Semisal, lahir dari seorang pemimpin daerah, pengusaha kaya, terhadap kondisi ini kita sering berargumentasi. “Maklum, anaknya Bupati pasti terjamin modal dan karirnya.” Padahal, kita lahir dari anak petani pun bila tidak kekurangan kasih sayang dan dukungan, hal itu juga merupakan privilage. Dari narasi awal ini kami hendak membenarkan pandangan yang salah kaprah. Agar, setiap dari kita mampu melihat diri dan orang lain spesial, berharga, dan berhak memperoleh kesempatan yang sama.

Pandangan yang kami adopsi ini kemudian disuguhkan dengan pemandangan yang relate. Sebagaimana teman-teman ketahui di berbagai sosial media. Bahwa hari ini kami dipercaya atau diberikan amanah untuk tumbuh dan belajar bersama dengan Mahasiswa STAI RAYA Jember. Sebuah kampus baru yang berada di Jember selatan. Di desa, tetapi sebagaimana kami melihat setiap orang adalah berharga. Maka, begitu pula kami melihat institusi ini dan seluruh civitas akademika di dalamnnya, termasuk mahasiswa.

Angkatan pertama bagi kami adalah penentu bagaimana kegiatan kemahasiswaan akan berjalan selanjutnya. Maka, dalam hal membentuk ‘adah (kebiasaan) untuk membangun bi’ah (lingkungan) kami selalu berusaha berhati-hati. Meski sebagai angkatan pertama dan tidak punya senior sebagai referensi, mereka selalu aktif, inovatif, kreatif, dan semangat tentunya. Satu di antara mereka berhasil mencuri perhatian. Mengapa tidak? Di Tengah-tengah mengemban amanah biologis dia tetap aktif dan tidak apatis terhadap kegiatan kemahasiswaan. Kondisi biologisnya tidak dijadikannya alasan untuk tidak berperan. Oleh teman seperkawanan ia dipanggil dengan sebutan Mbak Diana. Tetapi, mahasiswa program studi PGMI ini memiliki nama lengkap Diana Nur Arifah.

Menurut keterangannya, ia memasuki bangku perkuliahan saat usia kandungan tiga bulan. Cerita pertama yang membuat kami mengaguminya adalah ketika kami hendak mengadakan kegiatan Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ia salah satu yang bersemangat. “Mbak Diana mau ikut katanya, Bu,” ucap salah satu mahasiswa ketika kami memberikan pandangan sekilas tentang MAPABA dan PMII di kelas.

“Beneran mau ikut, Dek?”

“Iya, Bu, tidak boleh, ya, Bu?” Tanya Diana dengan wajah memelas.

“Bukan begitu, emang tidak apa-apa dengan kandungannya?” Waktu itu janin di dalam perutnya sudah membesar, sekitar 7-8 bulan. Kami yang tidak pernah memiliki pengalaman biologis semacam itu, hanya melihat dan menilai, mengkhawatirkan kandungannya.

“Kegiatannya berat kah, Bu?”

“Iya tidak seperti militer, hanya mendengarkan materi dan diskusi. Tetapi, kegiatannya bisa seharian.”

“Iya, Bu, tidak apa-apa, saya ikut!” Jadilah dia benar-benar mengikuti forum mulai awal hingga akhir. Kami pernah bertugas mengawal kegiatan formal PMII di Kabupaten Gresik bersama sahabat yang lagi hamil 5 bulan. Tetapi, ia sudah melalui proses yang banyak warna dan dinamika. Sedangkan mahasiswa kami yang masih baru dan belia ini mempunyai semangat serupa mereka yang sudah mengalami asam dan manis organisasi. Hal ini di luar ekspektasi kami.

Cerita kedua, ketika DEMA STAI RAYA mengadakan kegiatan Goes To School. Diana salah satu mahasiswa yang bergabung sebagai tutor. Saat ini, janin di kandungannya sudah jadi bayi perempuan yang mungil dan jelita. Ia membawa baby tersebut ke sekolah tempatnya bertugas, dan sang suami membersamai. Saat Diana harus dikelas, maka bayi digendong oleh suami. Laki-laki tersebut menanti dengan sabar sambil memandangi sang permaisuri dari kejauhan. Melihat moment yang jarang kami dapati tesebut, dan melihat bayi mungil di gendongan sang ayah, kami jadi sangat ingin meraihnya. Jadilah saya minta kepada Diana untuk mengambilnya. Tetapi, dari kejauhan sang suami masih memastikan kepada kami apakah tidak apa-apa bayinya dibawa mendekati kelas. “Tidak apa-apa, Bu?” Karena memang kami yang meminta akhirnya kami jawab dengan isyarat mengangguk dan senyuman yang mengembang. Jadilah bayi penuh pengertian ini berada dalam dekapan kami, tanpa tangis sama sekali.

Diana adalah contoh real buat kami, bahwa privalage itu juga berupa suami dan keluarga yang pengertian dan penuh dukungan. Mereka menjalani relasi yang sportif dan kesalingan. Di tengah-tengah kehamilan dan menyususi ia tetap aktif mengikuti kegiatan kemahasiswaan. Di saat ada beberapa dari mereka tanpa amanah biologis semacam dia menyia-nyiakan segalanya. Kami yakin, semangat dan pandangan optimisnya terbentuk karena relasi dalam keluarga yang sehat.

Semoga Diana dan keluarga senantiasa bersama Rahmah Allah.

Posting Komentar

0 Komentar