Selain menjadi anak dari orang tua kami, takdir terbaik kami adalah menjadi santri.
Lingkungan yang riuh rendah dengan suara lantunan ayat suci Al-Qur'an para santri, kalam hikmah serta tuntunan Kyai yang kami dengar saben pagi, suara saling saut hafalan dan muraja'ah nadhoman. Bagaimana mungkin, tempat se tenang, se penuh harapan dan kasih sayang itu dibilang sumber kedholiman.
Mau ditanggapi terlalu tidak bermutu, tidak ditanggapi menjadi tidak ada efek jera untuk pelaku. Saat kami melanglang buana urusan kerja-kerja organisasi, salah satu teman selalu mengingatkan. "Ukhty, bagaimanapun karirmu nanti, jangan lupakan kamu santri." Sepanjang jalan yang terbentang, kami selalu mencari makna, kenapa aku harus selalu ingat kalau aku adalah santri.
Pertama, santri selalu hidup dalam kesederhanaan, hingga apapun yang ditawarkan oleh gemilangnya dunia, tidak sekalipun membuat ia gentar untuk tetap berada dalam jalan kebenaran. Santri tidak bisa dibeli, kalau bisa dibeli berarti bukan santri.
Kedua, santri luas pemikiran namun senantiasa halus perasaan. Ia bersikap tegas terhadap kedholiman, tetapi kasih sayang selalu menjadi landasan dari setiap perbuatan maupun keputusan. Ia bertindak bukan untuk menghakimi tetapi dengan sadar menjalankan tugas tuntunan dari Sang Ilahi.
Ketiga, santri selalu adab ashor, memiliki mindset bahwa setiap kelebihan adalah sarana atau fasilitas dari Tuhan untuk menjalankan tugas kehambaan dan keholifahan dari-Nya. Hingga apapun yang menjadi kelebihannya, bukan tersebab kehebatannya, tetapi karena ada amanah Tuhan yang tersirat di dalamnya.
Lalu apa, Mbak, kaitannya? Esensi Santri tersebut dengan Pesantren dan Relasinya dengan Kyai yang disebut-sebut sebagai relasi perbudakan? Pengalaman, wawasan, dan tujuan yang demikiran dibentuk oleh lingkungan yang disebut pesantren dan berdasarkan tuntunan dari Kyai maupun Nyai.
Jujur saja, salah satu yang tetap membuat kami berdiri kokoh selain teladan dari orang tua adalah dari guru kami. Ketika kami kemudian lelah, kami berpikir "Apa nggak lebih lelah Kyai dan Nyai yang 24 jam harus bersama santri dengan segala bentuk permasalahannya." Beliau bisa berfungsi menjadi segala bentuk profesi, orang tua, guru, polisi (menjaga santri), mediator (memediasi permasalahan santri), dokter (memastikan kesehatan), arsitek (mendesain gedung pesantren), dll. Apa semua itu ada bayarannya?
Kalau mau kalkulasi, peran Kyai dan Nyai, Ustadzah, maupun pengurus, siapapun tidak akan mampu menominalkan. Sebab ilmu, pengabdian, perjuangan, dan penghormatan beliau-beliau terhadap ummat ini hanya mampu diapresiasi oleh Tuhan. Manusia, dalam bentuk apapun, tidak akan mampu membayarnya.
Pesantren ini salah satu pondasi moral bangsa, apabila ada yang hendak menghancurkannya, maka ia sedang menghancurkan moral bangsa. Maka, masalah ini bukan hanya masalah santri. Tetapi, masalah semua bangsa ini. Pertiwi, dalam bentuk nasionalis maupun keagamaan, tidak dilahirkan hanya untuk narasi dan aplikasi kedholiman maupun kebencian.
#AKSITANPANEGOSIASI
#LAWANTANPATAWAR

0 Komentar