Ilmu dan Amal


High Value Person tidak tergantung pada jabatan maupun status sosial. Tetapi, pada ke'aliman dan ke'amilannya. Jadi, siapapun berkesempatan menjadi manusia berkualitas tinggi, dengan apa? Ilmu dan amal.


Saat membersamai DEMA STAI RAYA dalam acara pembekalan Tutor Rihlah Ramadhan

Aku tertarik membahas tema ini setelah membaca buku "Kyai Kantong Bolong" Karya Gus Rijal Mumazziq Zionis. Besutan yang menarik mengisahkan beberapa ulama inspiratif dengan kelebihannya masing-masing. Termasuk dari kisah Imam Abu Hanifah dan Syaikhona Kholil Bangkalan, yang memiliki kelebihan dalam hal ilmu dan amal. Beliau sosok ulama yang tidak menasehati sebelum melakukan. Sehingga apa yang didawuhkan menjadi sesuatu yang terpatri dalam hati. Berpotensi diterima oleh orang yang dinasehati atau yang mendengarkan. Bagi kami, upaya melakukan sebelum mengucapkan adalah bagian dari tirakat.

Sejak usai membaca buku yang dihadiahkan kepadaku kisaran tahun 2019 tersebut. Aku sering merefleksikan sikap manusia dengan basis konsep ‘alim dan ‘amil. Benar, memang sulit untuk menjadi orang yang memiliki ilmu dan mempraktekkan ilmunya. Bahkan di level selanjutnya, aku memiliki pandangan bahwa mendapat ilmu itu mudah, yang sulit adalah mempraktekkannya.

Ilmu dikatakan dalam KBBI adalah pengetahuan atau kepandaian sedangkan amal adalah perbuatan. Dalam diri manusia, ada 3 kecerdasan yang saling mempengaruhi: kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Dalam buku teori belajar dan pembelajaran karya Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni dijelaskan bahwa kecerdasan intelektual mengidentifikasikan dominasi aspek rasionalitas. Dia tidak mempertimbangkan faktor lain di luar kemampuannya berpikir. Lalu hadirlah kecerdasan emosional sebagai pelengkap dari kecerdasan intelektual. Terkadang ada studi kasus di mana seseorang sangat cerdas intelektualnya kalah sukses dengan orang yang intelektualnya biasa-biasa saja tetapi memiliki kecerdasan emosional.

Kecerdasan emosional adalah kemampuan mengendalikan, mengorganisasi dan menggunakan emosi ke arah kegiatan yang mendatangkan hasil yang optimal. Karena itu, basis dari ilmu adalah kecerdasan intelektual sedangkan basis dari amal adalah kecerdasan emosional. Seseorang bisa saja memiliki ilmunya, tetapi tidak semua dari mereka mampu menggunakan, mengorganisasi keilmuannya sehingga menjadi amal yang baik.

Suatu saat aku mendengar keluhan dari salah seorang teman. “Belum jadi kepala sekolah saja sudah sombong, Sin, ketemu nggak pernah nyapa. Jadi, aku males wes berdekatan sama dia sekarang.” Pernyataan ini spontan mengarahkan hatiku berucap Syukur. “Alhamdulillah, aku tidak masuk dalam kategori sombongnya.” Sangat susah memang mengendalikan hati apalagi sikap bila sudah status social tersandang. Karena itu, bagi mereka yang tidak bisa memanegement maka justru menjadi bumerang dan bahkan nilainya menjadi berkurang.

Hikmah dari cerita diatas adalah yang memimpin seseorang bukan hanya ilmu tetapi juga tujuan, sehingga tercipta amal yang baik. Bila dengan ilmunya tujuan seseorang hanya mendapat gelar atau status sosial, maka ilmu cenderung tidak bisa menghantarkannya pada amal yang baik. Tetapi, bila tujuannya untuk kemaslahatan dan kebermanfaatan, supaya dengan ilmunya dapat menjadi rahmah bagi seluruh alam. Maka, tujuannya ini akan mengontrol amal agar lebih berhati-hati berinteraksi dengan orang lain. Sebab, untuk dapat mentranformasi ilmunya, seseorang perlu diterima terlebih dulu, selanjutnya mengupayakan adanya relasi yang nyaman. Untuk bisa diterima, perlu memperhatikan amal, perbuatan, tidak sombong, angkuh dan sok-sok an. Sebaliknya, kita akan berupaya berbuat menyenangkan, ramah, low profile, karena tujuannya bukan untuk diakui, tetapi disegani, dan untuk menjadi segan, tidak perlu ke aku-aku an. Orang cenderung lebih respect ke kita, bila menghadirkan ilmu setelah amal. Sebab, first impression seseorang pada kita buka karena ilmunya, tetapi karena amalnya (perbuatan).

Lo, Mbak, seharusnya kalau orang berilmu perbuatannya pasti baik. Karena ilmunya, seseorang bisa tahu boleh atau tidak, pantas atau tidak, ilmu yang mengontrol perbuatan mereka. Jadi, ilmu lebih penting dari amal. Selain sebagaimana yang aku jelaskan di atas, ada pandangan menarik dari Imam Nawawi terkait urgensi Adab di atas Ilmu. Adab bagian dari bentuk perbuatan itu sendiri. Menurut beliau sepintar apapun seseorang, jika ia tidak mempunyai adab, maka gugur nilai semua pengetahuannya. Adab sebagai salah satu bentuk dari amal menjadi tolak ukur kualitas keilmuan seseorang. Dikuatkan lagi oleh filsuf kenamaan, Socrates, beliau menyebutkan "Orang itu tambah pinter mesti tambah baik." Pada akhirnya amal menjadi tolak ukur kedalaman ilmu seseorang.

Pandangan ini menyelamatkan kita dari kemungkinan orang berilmu yang berbuat semena-mena. Karena sudah ada justifikasi dari guru besar kita, bahwa bila dia tidak beradab maka gugur nilai semua pengetahuannya. Jadi karena amalnya yang tidak baik, dia tidak lagi menyandang gelar ‘alim, dia bukan lagi orang berilmu.

Suatu malam, di meja makan yang selalu penuh kegembiraan itu, Bapak menjelaskan bahwa bila ilmu dan amal tidak relevan maka tidak ada yang dinamakan hasil. Karena itu, setiap orang harus hati-hati, dalam berpikir, berbicara dan bertindak. Jadi manusia harus berani berbuat berani bertanggung jawab. Jangan sampai berani melakukan hal buruk, tetapi mengkambing hitamkan orang lain. Ini salah satu perbuatan dhalim, amal yang tidak baik. Sebelum mengeluarkan kata-kata kedhaliman harus beribu-ribu kali berpikir. Karena dosa paling berat adalah dhalim terhadap orang lain. Harus meminta maaf kepada mereka, khawatir di lisan mereka memaafkan tetapi di hati tidak, inilah yang disebut berat.

Beliau melanjutkan bahwa orang berilmu perlu menggunakan ilmu padi, semakin menunduk dia semakin berisi. Lo, Mbak, bukannya yang benar semakin berisi semakin menunduk, ya? Pandangan beliau memang logika terbalik dari kata mutiara yang selama ini berkembang. Aku kemudian menelaah lebih jauh apa yang dimaksud beliau, pada akhirnya aku menemukan kesimpulan bahwa semakin orang menunduk (adab ashor) semakin keilmuannya diafirmasi oleh orang lain, semakin di diterima, semakin dia dengan mudah mengamalkan ilmunya. Bukankah setiap ilmu yang diamalkan akan terus bertambah? Sebagaimana dikatakan oleh ahli perkembangan, Vygotsky, bahwa kognitif seseorang akan terus mengalami perkembangan bila berinteraksi dengan orang lain (Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, 46). Hal inilah yang dimaksud semakin menunduk, semakin berisi.

Dari semua perjalanan reflektif ini, kami memiliki pandangan bahwa orang dikatakan berilmu setelah teridentifikasi amalnya baik. Amal, menjadi tolak ukur keilmuan seseorang. Karena itu ilmu harus relevan dengan amal. Apabila tidak demikian, maka tidak jarang jika keilmuan seseorang diragukan. Ketika ilmu dan amal sudah relevan, berupaya tidak berbicara dan menasehati sebelum melakukan, maka selanjutnya kualitas seseorang mendapat pengakuan.

18 Maret 2024

Posting Komentar

0 Komentar