“Kebenaran tidak selalu berarti kebijaksanaan, karena kebijaksanaan adalah kebenaran baru yang kita temukan. Inilah hasil interaksi teks dan konteks. Dan inilah salah satu alasan kenapa ilmu pengetahuan selalu mengalami perkembangan. Bila kita memahami akar, maka tidak akan kaget, apalagi kecewa ketika menemukan dahan yang berbeda.”
Suatu hari, perjalanan kami ke luar kota mengantarkan pada sharing
salah satu adik yang lagi-lagi membuat hatiku miris dan tidak bisa dinalar
secara logis. Dia menyampaikan arahan salah satu seniornya, “Ada salah satu
senior saya yang minta saya untuk tidak ikut diskusi dan ngopi-ngopi ndak
jelas. Katanya beliau, saya cukup baca buku di dalam kamar saja.” Mungkin
adik ini bukan satu-satunya yang memperoleh indoktrinasi demikian, mungkin juga
kalian, atau posisi senior yang memberikan pemahaman demikian sedang kalian
sandang. Sebelum murtad bersama dari prinsip strategi juang dan abdi, mari kita
beristighfar. Astaghfirullah hal’adzim.
Atau aku hanya sedang menanggapi berlebih informasi dari satu sisi,
sehingga penialiannya cenderung menghakimi. Mungkin arahan tersebut dimaksudkan
untuk menekankan seberapa penting membaca sebagai awal, sebelum kita menghadapi
dunia. Anggap saja memang begitu maksudnya, tetapi intrepretasi tetap harus
dilakukan sehingga tidak terjadi miss interpretasi, lalu terjadilah yang
namanya dosa turunan. Pemaparannya, tidak boleh berhenti pada urgensi membaca,
tetapi hal apa yang harus dilakukan setelah membaca. Apabila penekanannya tidak
mementingkan yang lain selain membaca, maka ini adalah arahan yang berbahaya,
mengapa demikian? Mari kita urai satu persatu.
Anggap saja membaca salah satu metode yang kita lakukan untuk
memperoleh ilmu pengetahuan, untuk mengetahui hal-hal tentang kehidupan secara
teoritis, sehingga terpenuhilah kemampuan pada aspek kognitif. Kebenaran secara
teoritis, teks yang kita dapatkan, tentulah harus diuji atau dikomunikasikan
dengan konteks supaya kita bisa memfilter mana yang masih relevan. Sederhananya,
benar dan salah secara teoritis belum tentu juga benar dan salah secara
realitas. Pada akhirnya, benar dan salah selama itu pemikiran manusia maka akan
selalu mengalami perkembangan. Begitu juga buku yang ditulis manusia, karena
itu hakikat kita membaca bukan untuk memperoleh kebenaran yang mutlak, tetapi
untuk memperoleh kebijaksanaan saat dibenturkan dengan keadaan (realitas). Kebenaran
tidak selalu berarti kebijaksanaan, karena kebijaksanaan adalah kebenaran baru
yang kita temukan. Inilah hasil interaksi teks dan konteks. Dan inilah salah
satu alasan kenapa ilmu pengetahuan selalu mengalami perkembangan. Bila kita
memahami akar, maka tidak akan kaget, apalagi kecewa ketika menemukan dahan
yang berbeda. Nah, untuk memahami konteks, untuk menjadi bijaksana atau bahkan
menjadi pengembang ilmu pengetahuan, tidak cukup sekedar membaca buku.
Kalau kita orang yang melek secara teks dan buta secara konteks,
maka akan mendekatkan kita menjadi manusia yang maha benar, manusia yang kaku,
manusia yang tidak dinamis dan tidak fleksibel, bahkan berpotensi menjadi hakim
atas kehidupan orang lain. Na’udzubillahi min dzalik. Allah tidak hanya
menciptakan mata untuk membaca, tetapi juga telinga dan mulut untuk melakukan
interaksi dan membangun relasi. Kebijaksanaan itu tidak muncul hanya dari
pengalaman pribadi, tetapi juga orang lain. Bahkan untuk memperoleh pengalaman pribadi
yang menjadikan diri lebih bijaksana juga membutuhkan peran orang lain. Misal,
sesederhana pemikiran “Asmara hancur sholawat meluncur.” Lah, kalau dia tidak
menjalin hubungan bagaimana akan terjadi asmara? Kalau dia tidak dihancurkan
bagaimana dia bisa berpikir bahwa solusi dari kehancuran adalah bersholawat?
Karena itu, orang yang berusaha memahami teks tetapi juga menganggap penting
konteks akan dekat pada kebijaksanaan. Dia bukan hanya orang yang
pinter, tetapi juga orang yang mengerti.
Selain itu, Gaes, kita juga harus tahu apa tujuan kita berilmu? Untuk
menjadikan diri lebih pintar dari orang lain? Atau untuk menjadikan diri unggul
setiap berargumentasi? Untuk memperoleh tepuk-tepuk manusia yang mengagumi? Ya,
bila hanya itu tujuannya maka cukup dengan membaca buku. Tetapi, senyatanya
tidak demikian, hakikat kita hidup dalam dunia ini ada dua hal, ‘Abdun dan
Kholifah fil ‘Ardh, kedua peran itu dilakukan untuk dua hal yaitu
memperbaiki akhlak dan menjadi rahmat untuk semesta alam dengan tujuan memperoleh
ridho Allah. Wah, bagi ummat muslim ini adalah tujuan yang tidak
akan pernah terkikis oleh masa, dipengaruhi perkembangan pemikiran manusia, dan
dikontrol oleh sosial budaya. Tujuan ini mutlak, tidak bisa diganggu gugat.
Karena itu, orientasi dari setiap kebaikan hendaknya adalah ridho Tuhan.
Baiklah, menjadi ‘Abdun adalah peran privasi setiap hamba
kepada Tuhannya. Lalu bagaimana dengan Kholifah fil ‘Ardh untuk
memperbaiki akhlak dan menjadi rahmat? Tentu peran itu bisa dilakukan apabila
kita menjalankan hakikat manusia yang lain, yaitu makhluk sosial. Kita harus
ngonco, berjejaring, berelasi dan berinteraksi dengan orang lain. Anggap saja,
ketika membaca kita menjadi kaum tercerahkan dengan gagasan yang gemilang? Lalu
bagaimana gagasan itu dapat diimpelementasikan dan menciptakan suatu perubahan?
Ya, dengan NGONCO, Gaes. Kita tidak bisa hanya menjadikan gagasan sebagai
produk pemikiran, begitulah kalau kita ingin memperbaiki akhlak dan menjadi
rahmat.
Dari teman, kita berpotensi mengetahui hal-hal yang belum kita
ketahui. Bagaimana suatu pemahaman bisa diimplementasikan dengan tepat, apabila
sesuai kebutuhan. Analisis kebutuhan ini bisa terjadi apabila kita menguasai
masalah, MELEK PERKORO.
Sore hari, usai ziarah ke maqbaroh Habib Sholeh Bin Muhsin Al-Hamid
Tanggul, kami menyusuri lereng gunung tanggul. Bermaksud enyah sebentar dari
hiruk pikuk dunia yang mulai tidak masuk akal. Kami berhenti di sebuah warung,
membeli gorengan dan es rasa-rasa ala anak sekolah dasar. Di samping warung
tersebut, tersedia sebuah kursi memanjang beserta mejanya. Di sana kami duduk,
seraya menikmati pemandangan alam yang paripurna, menyejukkan, ditambah lagi
aliran air terjun yang begitu tenang tersorot oleh kedua mata kami. Perjalanan
ini sengaja kami lakukan untuk meninggalkan sejenak segala permasalahan.
Terlebih, untuk sesuatu di luar kapasitas kita menyelesaikan, tetapi hati terus
menuntut adanya perubahan.
Kami sesekali berbincang dengan pemilik warung, perempuan setengah
baya itu terlihat semangat dan optimis dengan hidup yang dijalaninya. Sambil
sesekali menjaga tungku supaya tetap mengepul, beliau berkata “Ya, meskipun
suasana sesak di ruangan yang sempit dan panas ini tetap harus Ibu lakukan,
Nduk. Supaya besok bisa makan. Hehe.” Kalimat dan situasi sang Ibu, menjadi
perantara kami untuk berkali-kali berucap syukur. Kesadaran membersamai, bahwa
kita tidak perlu berlebihan menghadapi situasi. Dan tidak telalu tinggi
membangun ekspektasi, meskipun itu soal kebaikan. Setiap hasil membutuhkan
proses.
‘Tak lama kemudian, handphone berbunyi karena notifikasi DM Instagram
dari senior luar kota kami. Setelah ku tengok, ternyata beliau berkirim link
berita di mana seorang nenek penjual gorengan divonis 5 tahun penjara karena
telah menerima paket ganja sang anak yang dikirim ke rumahnya. Perempuan usia
60 tahun tersebut menangis saat putusan dibacakan.
Situasinya sangat tepat, saat itu yang dominan menanggapi berita
tersebut adalah aspek humanis kami, aspek kemanusiaan dan perasaan. Berita yang
disuguhkan sesuai realita yang ada di hadapan kami. Seorang Ibu penjual
gorengan, kami sudah mendengar narasi optimisme di balik keterbatasan, melihat
raut wajah penuh semangat menggapai asa sesuap nasi untuk hari esok. Bedanya, Ibu
di depanku tidak divonis 5 tahun penjara sebab ketidaktahuan atas isi dari
paket yang diterimanya. Katanya, ini bagian dari huru hara di Negeri Konoha
yang harus kita terima.
Uraian di atas telah memberikan gambaran atas urgensi sinergitas
dan suistainable kemampuan membaca (MOCO), kemampuan membangun jejaring
(NGONCO), yang pada akhirnya menghantarkan kita pada kemampuan melihat masalah
(MELEK PERKORO). Bila ketiganya terus terjadi pada kehidupan kita, maka kita
akan bepotensi menjadi generasi yang terus menggaungkan narasi-narasi
perubahan. Baik secara pemikiran, perasaan dan perbuatan.
Semoga narasi singkat ini memahamkan dan memberikan pembelajaran.
10 Januari 2024
Sinta Bella, M.Pd.

0 Komentar