Bismillahirrahmanirrahim,
Bismillahi tawakkaltu 'alallah laa haula waa laa quwwata Illa Billah
Hari ini aku memperoleh kesempatan sharing menyoal kemandirian dengan adik-adik santri Pondok Pesantren Darul 'Arifin 2 Jember. Akan tetapi, dalam tulisan ini aku tidak ingin membahas distorsi konsepsi mandiri yang menjadi pokok bahasan dalam diskusi.
Kami lebih ingin berbagi menyoal pesan Bapak usai kami diskusi.
Jadi, seperti biasa, sesampainya di rumah aku sempatkan presentasi soal kegiatan di luar, disertai gambar atau video. Kebiasaan ini aku lakukan sebagai wujud progress report kepada Bapak yang telah memberikan kepercayaan kepada anak perempuannya untuk menembus ruang dan waktu, guna memperoleh pengalaman dan ilmu.
Karena panitia belum berkirim foto maupun video, jadi aku spil kegiatannya melalui story wa salah satu panitia. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya, sih, aku sharing ke Bapak soal kegiatan di luar melalui video maupun foto. Tetapi, beliau baru sadarnya sekarang, ternyata aku memiliki kebiasaan buruk ketika berbicara di depan.
Posisi di mana tangan kanan megang mic dan tangan kiriku yang menjelaskan itu adalah cara yang tidak sopan. Cara yang salah dan tidak berakhlak. Jelas, aku ditegur abis-abisan sama Bapak. Tidak cukup waktu menjelang Maghrib, usai sholat Maghrib beliau lihat lagi videonya dan menekankan hal yang sama.
"Jangan begitu, Kamu bisa duduk di depan karena kamu dihormati dan dihargai orang lain, maka jangan lupa juga untuk menghormati mereka. Nah, cara menjelaskan dengan tangan kiri itu tidak menghormati mereka. Kalau saya tidak cocok, kalau ada yang begitu berarti ilmunya belum dalam."
Beliau juga menjelaskan bahwa hal begini adalah ilmu yang tidak tertulis, ilmu yang tidak ada di buku atau kitab. Tetapi ada di alam. "Ariah elmoh se dengpaddeng tapeh tek etemmoh (Ini ilmu yang kelihatan jelas, tetapi tidak diketahui)."
Lanjut beliau menjelaskan, tangan kiri itu tangan jelek, tangan untuk yang kotor. Salah satu landasan filosofi kalau tangan kanan wujud penghormatan adalah ketika kita menaruh hormat pada sang saka merah putih, menggunakan tangan kanan, nggak mungkin kita hormat menggunakan tangan kiri. Maka, muliakan orang yang ada di depanmu, orang yang mendengarkanmu dengan menjelaskan menggunakan tangan kanan, kunci tangan kiri dengan memegang mic.
"Lagian, masak mengajak orang pada kebaikan tetapi menggunakan cara yang tidak baik. Mon tangan kacer car kacer, Mon tangan kanan ekenang (Kalau tangan kiri artinya berantakan, tangan kanan artinya terkenang). Logikanya lagi, ketika kamu mau menghaturkan guru atau orang yang lebih tua, masak pakek tangan kiri, pasti tangan kanan. Karena kanan wujud kesopanan dan penghormatan," jelas Bapak yang hanya aku respon dengan kata, "Aenggi." Aku sadar betul, mungkin ketidaksopanan dan keangkuhan tidak hanya tampak pada caraku tetapi telah menyelinap dalam hatiku. Astaghfirullah.
Kenapa hal ini menjadi penting?
Menurut Bapak ada dua alasan kenapa hal tersebut perlu menjadi perhatian. Pertama, mengupayakan hal-hal baik dalam diri kita adalah bentuk menghormati diri sendiri, selain juga menghormati orang lain.
Kedua, Ini adalah ilmu penting yang hampir tidak pernah disadari, tetapi orang yang sudah bisa implementasi maka dia juga orang yang berhasil menjaga wibawa.
Lalu aku bertanya, "Bagaimana ketika kita baca Al-Qur'an pakai mic. Baiknya tangan mana yang pegang mic, Pak?"
"Kalau saat baca terserah mau pakai yang mana, tetapi kalau untuk membuka lembaran Al-Qur'an harus pakai tangan kanan, pindahkan dulu mic-nya ke tangan kiri."
"Ingat, Bapak pesan beneran ini. Jangan dibiasakan dan mulai dilatih. Kalau perlu kamu sampaikan kepada yang lain," tegas Bapak untuk ke sekian kalinya.
Begitulah Bapakku, sangat memperhatikan sekecil apapun yang kaitannya dengan akhlak. Bahkan, beliau hampir tidak pernah menekan kami untuk menguasai suatu teori tekstual. Beliau, selalu mengajak kami refleksi terkait kondisi alam. Lebih pentingnya lagi, soal cara bersikap di lingkungan sosial. Kami sangat mengagumi beliau, sering sekali kesadaran yang kami peroleh bukan berangkat dari bacaan. Akan tetapi, hasil refleksi dengan beliau.
Terkadang kami juga heran, dari mana muasal pengetahuan beliau ini. Sedang untuk pendidikan, beliau hanya tamatan sekolah dasar. Lalu sampailah kami tercerahkan ketika membaca buku teori belajar dan pembelajaran karya Prof. Dr. H. Baharuddin dan Dr. Esa Nur Wahyuni.
Pada sub bahasan konsep belajar menurut tokoh-tokoh Islam, Imam Al-Ghazali mengkategorisasi pendekatan belajar ada dua. Pendekatan ta'lim insani dan ta'lim rabbani.
Ta'lim insani di mana belajar dengan menggunakan bimbingan manusia, dibagi menjadi dua proses. Pertama, proses eskternal melalui belajar-mengajar. Kedua, proses internal melalui tafakkur.
Tafakkur merupakan membaca realitas dengan berbagai dimensi wawasan spiritual dan penguasaan pengetahuan dan hikmah. Hal demikian juga dikuatkan oleh pendapat Jalaluddin bahwa menuntut ilmu harus melalui proses berpikir terhadap alam semesta, karena ilmu merupakan hasil dari proses berpikir.
Nah, di sini letak dimana pengetahuan Bapak berasal. Seringkali beliau menyebutkan "Oreng mon tak padeh bik alamah, yeh, lopot (orang kalau tidak sesuai dengan hukum alam, ya, keliru)."
Jadi, dalam hal ini Bapak menggunakan alam semesta sebagai bahan dan media pembelajaran. Tentu, hal ini juga tidak lepas dari kehendak Allah. Jika Allah tidak berkehendak, tidak menunjukkan welas asih-Nya, tentu hikmah yang berupa ilmu ini tidak akan sampai kepada Bapak dan ditularkan kepada kami.
Sebagaimana Rasulullah Saw diutus sebab kebaikan akhlaknya dan bertugas memperbaiki akhlak. Maka, apa yang didawuhkan Bapak mengenai etika berbicara di depan umum ini sangat penting untuk kami cermati, implementasi dan transformasi.
Semoga kita semua termasuk hamba yang dekat dengan Rahmah-Nya. Amin.
Catatan, SB.
24 September 2023

0 Komentar