~Orang yang paling merugi adalah mereka yang selalu mengharapkan takdir orang lain sampai lupa memaksimalkan takdir yang menjadi bagiannya.~
Kita itu sering secara spontan melontarkan perkataan, "Andai aku seperti dia, ya."
"Andai aku punya itu kayak dia."
"Andai aku tidak seperti kemarin pasti aku sekarang sudah kayak dia."
"Andai aku nggak salah pilih pasti aku sekarang bahagia kayak dia."
Semua pengandaian itu ternyata menunjukkan lefel kita sebagai manusia. Kita masih di lefel yang sangat rendah, lefel yang masih tidak percaya dengan takdir Tuhan. Lefel yang masih kurang bersyukur. Lefel yang masih melihat bahwa ketidakbahagiaan adalah ketidaksempurnaan.
Padahal semua itu tergantung dari sisi mana kita melihat. Jika kita melihat ketidakbahagiaan versi kita itu adalah takdir yang diridhoi Allah maka di situlah letak kesempurnaannya. Bersyukurlah, karena kita masih tidak bahagia. Karena Allah tahu, mungkin kita masih manusia yang apabila dikasih bahagia akan menjauh dari-Nya. Inilah letak kesempurnaannya.
Dan memahami bahwa setiap manusia punya bagiannya masing-masing. Bagian kita adalah amanah yang Allah percayakan. Jangan sekali-kali terjebak pada pengandaian yang melemahkan perasaan, pikiran dan perbuatan.
Karena pengandaian itu semisal kita jadi tidak peka dengan hukum alam bahwa bila ada sedih maka ada bahagia, tentang kehidupan yang berputar, ada kalanya di atas ada kalanya di bawah, tentang adanya hikmah di balik setiap ujian. Perasaan dan pikiran kita terjebak dalam pengandaian yang berujung keterpurukan. Mau ngapa-ngapain jadi males, karena tidak sesuai kehendaknya. Kita ini kadang keras kepalanya minta ampun, tetapi memohon ampunlah pada Allah dari ingkar terhadap segala kehendak-Nya.
Dikatakan bahwa kapasitas belajar yang dimiliki manusia menjadi pembeda dengan makhluk yang lain. (Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni). Kekuatan kapasitas belajar tergantung bagaimana cara kita berpikir. Bila kita berpikir bahwa takdir orang lain adalah takdir yang terbaik untuk kita. Maka internalisasi pengetahuan demikian yang ada dalam tubuh dan tindakan kita. Sehingga takdir orang lain menjadi orientasi perjalanan hidup yang kita tetapkan. Kita ngoyok, berpikir dan melakukan segala cara untuk seperti mereka. Padahal, hal itu tidak sama sekali Allah gariskan. Bukankah kita termasuk merugi, Gaes? Loh, ya, nggak, Mbak, itu, kan bagian dari ikhtiar.
Maksud gue begini, lo, Gaes, you itu perlu memiliki standarisasi orientasi berbasis apa yang kamu miliki. Apa yang sudah Allah takdirkan untukmu hari ini. Ojok mboh riweh dengan bagian orang lain. Kalau kamu mengupayakan suatu hal berbasis apa yang ada dalam dirimu, maksimalkan sampai loss doll, dan kita punya standarisasi sendiri setidaknya kita tidak berakhir nelongso. Ojok sampek ada narasi, "Ternyata aku nggak iso, ya, kayak dia." Tetapi akhiri dengan narasi, "Sing penting aku wes berusaha melalui prosesnya, selebihnya bagian sing kuoso."
Sederhananya lagi, supaya kita terhindar menjadi followers kehidupan orang lain. Bukankah menjadi pembeda itu lebih asik? Hehe

0 Komentar