POLIGAMI: HAK ISTIMEWA LAKI-LAKI?



Konsep poligami bukan hal yang tabu lagi di masyarakat kita. Sudah banyak yang menjadi praktisi, tetapi konsep poligami masih saja menuai kontroversi. Tempo hari ada sebuah berita beredar yang membuat geger dan geram masyarakat khususnya para kalangan aktivis perempuan.  Banyak dari mereka yang spontanitas merespon konten berita tersebut di akun sosial media masing-masing. Hal ini merupakan sebagai bentuk tidak sepakat terhadap gagasan yang disampaikan. Berita tersebut berisi tentang RAPERDA Banyuwangi yang menganjurkan poligami. Tindakan ini dilakukan sebagai solusi terhadap tingginya perceraian di kota tersebut. Menjadi tidak habis pikir, logika dasar seperti apa yang dipakai oleh para pejabat tinggi (yang katanya wakil rakyat)  itu? Secara akal sehat manusia, usulan semacam itu sudah tidak bisa dicerna. Tidak tahu, ya, kalau yang mengusulkan di luar akal sehat. Orang bercerai mau dinikahkan lagi, udah gitu dipoligami. Alasan perceraian dalam sebuah rumah tangga sangat beragam,  kita tidak bisa serta merta melihat sebuah perceraian terjadi hanya karena permasalahan ekonomi saja sehingga dengan gampang memberikan solusi menjadi istri kedua bagi para janda. 

Aku merupakan salah satu orang yang merespon berita yang di-take line unik itu, padahal bagiku hina. Salah satu kawan di story Whatshaap menanggapi dengan respon yang sontak bikin aku geram. Kira-kira responnya begini, “Halah, paling yang naik pitam kalangan jomblo kurang bahagia.” Emang setiap jomblo kurang bahagia? Emang hanya jomblo kurang bahagia yang tidak mau dipoligami? Dan perempuan yang sudah bercerai itu mau dipoligami, gitu? Alhasil, tetap perempuan yang memperoleh stigmatisasi turunan dari masyarakat patriarkal. Karena dianggap sumber kesalahan yang terjadi dalam hidup ini adalah perempuan. Salah perempuan bercerai, salah perempuan lemah, jadi dia perlu dipoligami supaya sejahtera hidupnya.

Sorry banget, nih, kawan kalau narasiku terkesan mengandung sinisme. Karena sampai sejauh ini, saya tidak habis pikir dengan struktur berpikir masyarakat kita. Sejauh berkaitan dengan relasi laki-laki dan perempuan. Selain itu, usulan ini muncul dari wakil rakyat lagi. Orang yang diharapkan kebajikannya dalam membuat kebijakan. Naas.

Akan tetapi, kemarahanku mereda dan usulan RAPERDA itu dapat ku maklumi setelah membaca referensi mengenai hukum poligami, berikut latar belakang turunnya ayat tersebut. Sejauh hematku, para dewan tersebut menelan mentah-mentah latar belakang munculnya ayat poligami, sehingga dalam kondisi sosial kultural yang sudah berbeda saat ini mereka ingin memberlakukan hukum yang sama. Meski sifatnya hanya anjuran, tetapi tetap hal itu merupakan pelecehan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Mari, aku akan mencoba membicarakan dalil yang sering dijadiin landasan pembenaran. Ulasan ini ku peroleh setelah membaca buku Hak-hak Perempuan dalam Islam (Asghar Ali Engineer, 2000) pada bab poligami.

Ayat yang berbicara tentang dibolehkannya laki-laki menikah satu, dua, tiga sampai empat adalah Q.S. An-Nisa’ ayat 3. Ayat tersebut memiliki arti begini, “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Ada beberapa penjelasan yang ingin saya sampaikan berkaitan dengan pengertian di atas. Pertama, Asghar Ali Engineer (2000) mengatakan bahwa untuk menginterpretasikan ayat ketiga ini harus direlasikan dengan ayat satu dan dua. Berdasarkan hasil relasi tersebut, dapat diketahui bahwasannya ayat ketiga ini lebih menekankan pada anjuran berbuat baik terhadap anak yatim dalam hal pengelolaan harta mereka. Begitu pula dengan ayat dua, sedangkan ayat satu berbicara soal kesamaan laki-laki dan perempuan dalam proses penciptaan, dikatakan dari nafsin wahidatin (dari makhluk yang satu). Jadi, kita bisa melihat bahwa poligami dalam ayat ini menjadi solusi jika seorang laki-laki tidak mampu berbuat adil dalam pengelolaaan harta anak yatim perempuan apabila mereka menikahinya. Namun, Allah terus melanjutkan, jika menikah lebih dari satu khawatir berbuat tidak adil maka nikahilah seorang saja, dan yang demikian lebih baik. Yang menjadi tragis pengadopsi hukum ini secara fanatik hanya fokus pada dibolehkannya poligami. Padahal, pembolehan atau sebut saja keringanan itu terjadi sebab waktu itu terjadi kondisi sosial yang mendesak atau ada udzur. Nah, orang tidak melihat hal itu, mereka kaum fanatik itu hanya fokus pada dibolehkannya poligami, sehingga dalam kondisi sosial yang berbeda pun mereka masih menjadi praktisi poligami dengan dalih ayat ketiga Q.S An-Nisa’ ini.

Kedua, disebutkan dalam catatan kaki Al-Qur’an Terjemahan Al-Jumanatul ‘Ali bahwa Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebetulnya, sebelum ayat ini turun, sudah ada poligami, akan tetapi waktu itu tidak ada pembatasan. Sehingga para raja dapat menikahi perempuan sesuka hati mereka. Kemudian turunlah ayat tiga sebagai pembatasan. Karena itu, Asghar Ali Engineer mengatakan ayat ini sebagai ayat reformasi. Diceritakan juga oleh Asghar dari Sunan Abu Dawud bahwa ada seorang non-muslim yang bernama Wahab al-Asadi mempunyai delapan istri sebelum masuk Islam. Maka, Nabi meminta dia untuk mempertahankan yang empat dan melepas empat yang lainnya. Realitas sosial semacam ini, akhirnya membuat kita yakin bahwa Islam adalah agama yang baik dan sangat memuliakan perempuan. Semangat pembatasan ini adalah bukti bahwa Islam menyadari esensi kemanusiaan perempuan. Dan patutlah bagi mereka yang kontra terhadap poligami tidak lagi sensi terhadap agama Islam. Sebab, dari kenyataan realitas sosial periode pra Islam tersebut, justru hukum Islam telah menolong perempuan.

Ketiga, Q.S An-Nisa’ ayat 3 ini menjadi wahyu setelah terjadinya perang uhud. Waktu itu, dari 700 umat muslim telah meninggal 70 di antaranya. Kondisi tersebut sangat mengurangi jumlah umat muslim laki-laki. Banyak perempuan yang menjadi janda dan anak perempuan menjadi yatim. Untuk tetap menjaga pemeliharaan terhadap mereka, maka poligami ini menjadi solusi. Hal tersebut juga masih disandarkan pada syarat mampu berbuat adil. Jika dirasa tidak memenuhi syarat tersebut, lebih baik menikahi seorang saja. Seperti yang sudah ku katakan di atas, bahwa poligami tidak bisa diberlakukan secara umum dalam segala macam bentuk kondisi sosial. Karena itu dikatakan oleh Asghar bahwa poligami bukanlah hak istimewa laki-laki, yang karenanya dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja. Tidak, poligami bersyarat dan menjadi keringanan dalam kondisi tertentu saja. Aku membayangkan bahwa kenapa perempuan janda dan anak yatim perempuan waktu itu harus dinikahi bahkan dengan poligami untuk menyambung hidup dan mengelola harta kekayaan mereka? Karena pada waktu itu mereka sama sekali tidak memiliki skill atau akses untuk melakukan segala sesuatunya seorang diri. Bagaimana jika poligami hari ini masih didasarkan pada dalih pemeliharaan dan penyejahteraan? Maka kaum itu adalah manusia yang belum bisa move on dari kondisi sosial tempo dulu. Wkwkwkwk.

Keempat, sudah berkali-kali disebutkan di atas bahwa syarat dari poligami adalah mampu berbuat adil. Kita cetak tebal, ya, Mampu Berbuat Adil. Pada ayat lain (Q.S. An-Nisa’: 129) Allah SWT bersabda, “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berbuat adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-terkatung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Aku tertarik pada penegasan Allah di kalimat pertama. Saya menganggap bahwa Allah Maha Pemberi Keringanan, tetapi Dia juga tidak segan untuk menyampaikan keutamaan, yakni monogami. Ini tidak bisa dipungkiri bahwa Allah yang menetapkan syarat adil dan Dia pula menegaskan bahwa kamu sekali-kali tidak akan mampu berbuat adil.

Karena, keadilan yang bisa diusahakan oleh manusia adalah segala hal yang hanya tampak oleh mata. Berkaitan dengan sandang, pangan dan papan. Sedangkan soal keadilan dalam hal perasaan bukanlah sesuatu yang bisa diupayakan dan dikontrol oleh manusia. Lagi pula, Asghar menyampaikan bahwa hampir tidak terelakkan perilaku laki-laki terhadap orang lain dipengaruhi oleh perasaannya kepada orang tersebut. Lalu, bagaimana hubungan ayat ini dengan ayat tiga? Sebagai kesimpulan, Asghar mengatakan bahwa relasi ayat 3 dan 129 ini menekankan pembatasan moral terhadap pernikahan lebih dari satu orang istri. Setelah kita tahu bahwa syarat poligami adalah sesuatu yang tidak bisa diupayakan, karena segala tindakan dhohir tidak terlepas dari pengaruh perasaan. Maka hal yang paling diperhatikan dalam menentukan dibolehkannya poligami atau tidak adalah kondisi sosial masyarakat tertentu. Karena poligami hadir sebagai keringanan, bukan anjuran apalagi keutamaan.

Terima kasih atas perhatian pembaca, apabila terjadi pemahaman yang tidak sama sebelum membaca tulisan ini sehingga mengalami kontra pemikiran. Silahkan komentar di kolom yang sudah disediakan. Tulisan ini hanya hadir sebagai upaya menekan sekuat-kuatnya tradisi seenaknya saja berpologami. Apalagi sampai mau dijadikan sebagai hukum atau kebijakan daerah. Di zaman yang penuh dengan kemajuan, zaman yang sudah modern ini, ayo lah gunakan cara yang sesuai, kasih mereka akses untuk asah dan transformasi skill guna sampai pada kondisi yang kalian bilang “sejahtera”. Maju dikit gitu, lo, dalam berpikir! Jangan sampai membuat kami (rakyat kalian) putus asa terhadap kompetensi kalian sebagai pemangku kebijakan.

Catatan Puan

29 Juni 2022

 

Author             : Sinta Bella

Editor              : Maslahah 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar