~Jodoh, Perempuan dan Yang Terlupakan~



Ini bukan cerita tentang Syaikhoh Rahmah El-Yunusiah yang harus menanggalkan keinginanannya untuk terus bersekolah sebab ia perempuan. Ini bukan kisah Kartini yang harus terjerat dalam budaya feodalisme dan pariarki yang begitu mencekik. Ini bukan tentang Rukmini yang harus menggantungkan cita-citanya sebab ia harus masuk sekolah menjadi istri yang diimpikan. Bukan, ini bukan kisah mereka. Ini kisah perempuan masa kini, yang masih berada dalam kondisi yang sama. 

Mau dulu, sekarang atau bahkan mungkin seteruanya, perempuan selalu dirundung dilema dengan hal-hal sederhana. Rupanya, tanpa sadar ini pula yang menyebabkan mereka minoritas salam hal perkembangan intelektual dan kualitas diri. Miris sekali, bahkan diriku juga melalui hal yang sama. Sebelum akhirnya lingkunganku menerima. Karena itu, aku berusaha tidak akan pernah menyepelekan mereka yang sedang berusaha entas dari situasi tertekan, sebab aku juga pernah merasakan.

Ada satu konsep dalam Islam yang menjadi syarat bagi perempuan supaya bisa mengendus dunia luar. Mengantongi restu bapak jika belum menikah dan mendapat izin dari suami jika sudah menikah. Jangan dianggap, narasi ini sebagai bentuk Islam melemahkan perempuan, ya, atau Islam tidak percaya dengan otoritas diri perempuan sebagai manusia. Konteksnya sudah berbeda, bagiku jika sudah menikah, hukum kebalikan berlaku di dalamnya, artinya suami juga perlu izin kepada istri. Sebab, segala hal dalam kehidupan rumah tangga, karena itu menyangkut dua manusia, maka segala hal perlu dikomunikasikan sebelum menentukan keputusan. Sebab, tidak ada alasan dalam Islam bagi yang kuat untuk mendiskriminasi yang lemah (jika pun konsep di atas diinterpretasikan sebagai kekuatan laki-laki). 

Seorang perempuan yang belum bersuami, bisa menyelamatkan cita-cita dan impiannya dengan perjanjian pra nikah. Asghar Ali Engineer dalam bukunya yang berjudul Hak-hak Perempuan dalam Islam (2000) mengatakan bahwa nikah dalam Islam bersifat kontraktual, artinya baik pengantin laki-laki maupun perempuan boleh menetapkan syarat-syarat berlangsungnya pernikahan. Hal ini memberikan pencerahan kepada kita bahwa perempuan diberikan kebebasan untuk melakukan kontrak pernikahan atau tidak. Hanya saja masyarakat tradisionalis kita masih tabu memandang perempuan terlibat dalam perundingan pernikahan, sehingga semua hal yang menyangkut pendapat mereka tentang perempuan cukup diwakilkan oleh seorang wali. Kondisi ini pula yang membuat Bapakku berhati-hati untuk melepasku ke pangkuan laki-laki lain.  

Sekitar dua tahun yang lalu, sebelum aku purna strata satu. Bapak pernah bilang ke aku sudah menolak lamaran seseorang, ketika ku tanya kenapa. Beliau menjawab, khawatir mengganggu sekolahmu dan kalau tidak sama dengan kamu khawatir tengkar terus. Saat itu aku langsung berspekulasi bahwa sama menurut Bapak adalah pada strata pendidikan dan proses organisasi. Namun, spekulasiku itu terbantahkan saat baru-baru ini aku melontarkan pertanyaan yang tidak pernah ku bahas dengan beliau. 

Soal bagaimana Bapak bisa menerima proses dan caraku bersekolah, yang oleh beliau dikatakan tidak seperti pada umumnya, sudah banyak ku ceritakan di tulisan-tulisan sebelumnya terutama pada buku kedua yang akan terbit, In Syaa Allah. Karena kondisi penerimaan tersebut sudah ku kantongi, aku sering sekali berdiskusi soal pendidikan dan prosesku di organisasi, juga amanah dari masyarakat. Sehingga tidak pernah sekalipun ada obrolan di antara kami mengenai jodoh. 

Sampai suatu hari aku memberanikan diri bertanya, "Bapak, kenapa jenengan tidak pernah bertanya soal jodoh? Jenengan tidak ingin punya menantu dari saya?" Jawaban beliau waktu itu mengklarifikasi spekulasiku yang pertama. Kata beliau, "Kalau pun kamu ingin menikah sekarang banyak yang bisa nyariin kamu jodoh. Tetapi, Bapak takut tidak sama dengamu dalam berpikir, terus melarang kamu ini itu dan membuat sekolahmu terhambat, prosesmu di organisasi juga. Jadi lebih baik selesaikan dulu semuanya." Respon spontanku dalam hati waktu itu "Masalahnya belajar dan proses itu sampai mati, Pak." Wkwkkw, bercandanya aku seorang diri. Tetapi, aku mampu menafsirkan hal itu lebih luas. 

Ternyata, Bapak kemudian menjelaskan lebih rinci, bahwa tidak harus diukur dari jenjang pendidikan ataupun jabatan publik. Tetapi, dari pemikiran dan motivasi hidup yang sama. Mampu mendorongku dari berbagai sisi dengan pilihan yang sudah ku ambil. Bapak, ingin jalan kebermanfaatan ini tidak putus meskipun aku sudah berkeluarga. Menurut beliau juga, sulit laki-laki menerima perempuan yang berperan. Karena itu, sampai saat ini beliau juga menahan. Kekhawatiran beliau ini menandakan bahwa beliau belum mengenal perjanjian pra nikah, sehingga untuk berkenalan pun dengan laki-laki yang melamarku beliau tidak berikan akses. Atau beliau mengenal perjanjian pra nikah, hanya saja sesuatu yang mungkin akan aku ajukan adalah hal yang tabu. Atau mungkin selama ini beliau sudah tahu, bahkan melakukan perjanjian pra nikah untuk saudaraku yang lain, hanya saja tidak ditepati. Sehingga kemudian aku bertanya, sejauh manakah legitimasi dari perjanjian pra nikah tersebut?

Beberapa tahun silam, saat aku masih sering ke luar kota dan bertugas di Jember kota. Bapak juga pernah bilang begini, "Banyak yang tidak suka dengan caramu bersekolah. Tetapi, Bapak tidak menghiraukan itu, asalkan kamu bisa menjaga amanah dan bisa dipertaruhkan. Orang Bapak yang membiayai kamu, kok." Beliau menyampaikannya dengan sorot mata peringatan. Lalu beliau menambahkan, "Ya, kalau soal khawatir, mana ada orang tua tidak khawatir. Tapi, ya, kalau Bapak tidak khawatir saja. Tapi sambil mendoakan, supaya kamu selamat di jalan, sampai tujuan diterima dengan baik oleh teman-teman dan dilancarkan segala urusan."

Sebagai perempuan, aku selalu bersyukur telah hidup berdampingan bersama laki-laki seperti beliau. Ini adalah anugerah yang luar biasa. Tetapi, juga menuai amanah dan tanggung jawab yang berbeda. Karena aku percaya setiap apa yang kita lempar, pada akhirnya kita akan mengambilnya kembali. Entah dengan wujud yang sama atau sudah berbeda, tetapi substansinya tidak akan pernah mengalami perubahan. Kepercayaan inilah yang kemudian membuat aku berhati-hati dalam mengarungi proses sebagai perempuan. Ada kekhawatiran, jika aku tidak becus, sebagai perempuan yang sudah memperoleh akses, khawatir kegagalanku menjadi nilai untuk perempuan yang lain. Sehingga tidak ada lagi kepercayaan yang bisa diberikan kepada perempuan. 

Sesungguhnya teman-teman, bahwa segala budaya yang berkembang itu berasal dari konstruk sosial, sedangkan konstruk sosial berangkat dari stigma atau pemikiran individu. Karena muara yang sebenarnya adalah individu itu sendiri. Maka tidak ada yang tidak mungkin dengan pandangan kita untuk masa depan, sekalipun hari ini kita seorang diri. 

Maksudku, ketika saat ini kita memiliki pandangan yang ditentang oleh kebanyakan orang, selama itu baik, maka jangan pernah psimis. Jika pun harus berbicara sampai 1000 kali, lakukan. Jika pun harus dilakukan sampai 1000 kali, lanjutkan. Karena jika bukan kamu yang sadar, pada siapa lagi kita akan berharap perubahan?

Semoga kita menjadi insan yang tidak pernah luntur himmah perjuangannya. Amin.

Catatan Story, SB. 

06 Juni 2022

Posting Komentar

0 Komentar