Pemimpin Tanpa Jabatan

 


Kita mungkin berhasil memahami makna pemimpin, tetapi kita sering ragu, takut atau bahkan terlalu berani mewujudkan pemahaman itu. 

Setelah aku benar-benar keluar dari kampus, banyak teman-teman organisator intra maupun ekstra yang menanyakan kesibukanku. Soal itu, aku selalu transparan di sosial media. Kurang lebih, seperti itulah kegiatanku. Sebenarnya, mereka tak benar-benar mengkhawatirkanku. Mereka sedang mengkhawatirkan diri mereka sendiri. 

Takut tidak memiliki wadah proses atau tempat yang bisa membuat dirinya merasa berguna. Itulah yang tersirat dari mimik dan perkataan mereka. Tidak jarang yang terang-terangan bertanya, "Aku harus kemana dan bagaimana setelah ini, Mbak? Aku sudah gak bakal sesibuk dulu." Hem, aku hanya bisa menghela nafas panjang. Dalam tulisan ini pun aku tidak tahu harus menjelaskannya mulai dari mana. 

Dulu, sejak aku masih senang-senangnya berorganisasi di kampus. 'Tak pernah aku berfikir akan kemana dan seperti apa. Aku hanya berusaha melakukan apa yang aku bisa saat itu, untuk tujuan yang menurutku menjadi sebuah keharusan. Ya, aku dengan beberapa teman berusaha memperoleh apa yang juga menjadi hak kita. Yaitu berproses dan menjadi sasaran setiap kegiatan kampus. 

Menjadi mahasiswa kampus dua yang berada di lingkungan pondok pesantren membuat kita khawatir tidak bisa berinteraksi dengan mahasiswa induk. Selain itu, mayoritas dari kita berangkat dari pesantren dan harus kuliah di lingkungan pesantren lagi. Mungkin, saat itu membuat mereka jengah atau sekedar bosan. 

Jadilah mereka saat itu memintaku melayangkan protes kepada pimpinan, agar bisa kuliah di gedung kampus induk. Aku tidak serta merta menuruti permintaan mereka atau bahkan menjadi minyak tanah untuk semakin menyulut keinginan itu. 

Satu bulan aku meminta mereka bertahan demi memperoleh alasan yang kuat, namun data yang kami ajukan, kegelisahan yang kami rasakan. Tidak membuat apapun berubah, permintaan kami ditolak dengan alasan jika membuka kelas baru dengan jumlah mahasiswa kurang dari 20 maka kampus akan menanggung kerugian. Itu karena mayoritas peminat prodi Pendidikan Bahasa Arab (PBA) berasal dari lingkungan pesantren. 

Mendapati kenyataan itu sudah pasti kita kecewa, tetapi aku terus membesarkan hatiku sendiri juga mereka. Dengan memberi semangat, meski kita berada di kampus pondok kita tetap akan bisa mengikuti kegiatan kampus. Bahkan, menjadi yang pertama daripada yang lain. 

Motivasi itu aku garap bersama teman yang kusebut lima sekawan. Karena dasar itulah, tanpa sengaja kita mulai membicarakan peta politik kampus dan mulai mengincar posisi-posisi stratgis. Sebenarnya, kita polos, kita tidak tahu apa itu politik kampus. Aku menyadarinya baru-baru ini. Kita hanya beranggapan, jika berada di posisi itu kita bisa membantu mengangkat nama kampus pondok. Sehingga, mereka juga menyadari keberadaan kita. Sederhana, tapi itulah yang membuat kami bertahan hingga akhir. 

Itu cerita dalam skup kecil. Semakin aku berada di atas, aku disuguhkan dengan problem yang menghadirkan ambisi lebih besar. Saat itu, peranku sebagai sosialisator kampus menjelang penerimaan mahasiswa baru. Tiba-tiba ada salah satu siswa yang mencibir kampus kami, dan membuang begitu saja brosur yang kami berikan. Itulah, sakit hati yang paling mendalam. Aku berjanji kepada diriku sendiri, akan terus mensyiarkan keberadaan kampus kami. Kemanapun kaki membawaku melangkah. 

Sejak saat itu aku melihat posisi yang akan memberikan otoritas dan kapasitas penuh untuk membalaskan dendam atas sakit hati itu. Alasan ini, yang juga tetap membuatku mengepakkan sayap di luar rumah meski beberapa anggota keluarga 'tak suka atau bahkan mencibir di balik punggungku. Karena alasan ini, aku bertahan meski melangkah di jalan yang sunyi dan sepi. Saat itu, aku belum tahu untuk menjadi bekuasa maka harus ada yang dikorbankan. Aku kehilangan tawa dan pelukan hangat teman-temanku, meski mereka berjalan di sampingku. Mereka hanya melihatku sebagai atasan, sehingga mereka membuat batasan. Itu pula karena konsep organisasi yang aku inginkan, profesionalisme. Aku melupakan kekeluargaan. 

Begitulah, sedikit perjalanan yang mampu aku gambarkan. Benang merahnya, aku berawal dari tanpa jabatan, lalu dengan jabatan, kemudian harus melepaskan jabatan itu. Tapi ketahuilah, hidup selalu berputar, jadi ini bukan akhir, kita hanya kembali pada posisi semula. Tanpa jabatan. Maka jangan khawatir, jika di awal tanpa jabatan saja kita masih mengorganisir ide dan pemikiran lalu bergerak untuk melakukan perubahan. Jadi, kenapa kita harus takut kembali pada posisi itu. 

Kalau kita mau kembali pada beberapa tahun silam. Pahlawan yang hari ini masih diingat namanya, bergerak tanpa jabatan. Pure karena ketulusan mereka memulai semuanya yang dianggap benar. Kartini, dia tidak menunggu jadi orang yang berkuasa untuk sekedar belajar dan memberikan pelajaran untuk kaumnya. Gus Dur, saat dia lepas dari struktural organisasi (jam'iyyah), justru dia tetap bergerak membimbing jama'ah (manusianya). Saat itu dia beranggapan bahwa pondasi dari jam'iyyah itu adalah jama'ahnya. Maka, jika pondasi ini tidak diperbaiki, masih akan ada jam'iyyah yang sama, penuh dengan kerusakan. 

Rahmah El Yunusiah, mendirikan sekolah perempuan pertama di Indonesia, Diniyyah Puteri Padang Panjang (1923) saat beliau menjadi janda muda. Bahkan, dalam proses pendirian dan pengembangan, dia tidak membiarkan Belanda dan organisasi manapun menyalurkan bantuan. Dia hanya menerima bantuan yang bersifat pribadi. Meskipun dia aktif dan menjadi pengurus Persatuan Muslimin Indonesia (Permi). Dia tidak ingin sekolahnya berada di bawah naungan Permi. Sebegitu tegas dan keras kepalanya Rahmah untuk menghindarkan perjuangan karena Allah itu dari berbagai kepentingan. Bahkan, dia memilih berhutang daripada menerima bantuan dari mereka. Sikap Rahmah ini membuat aku berpikir, bahwa ketika berada di sana atau terlibat dalam struktural, maka tulus dan ikhlas hanya menjadi hiasan kepentingan pribadi belaka. 

Sudah sangat jelas dan gamblang, beberapa teladhan yang telah mendahului kita. Menjawab dengan sempurna kekhawatiran itu. Tanpa atau dengan jabatan, kita tetap diharuskan bergerak. Bergerak selaras dengan nafas yang selalu kita hembuskan setiap detiknya. Bergerak menunjukkan kita masih ada dan berguna. 

Selama kita memiliki empati dan mengkoneksikan dengan akal sehat lalu mewujudkannya dalam sebuah tindakan, sesungguhnya kita sedang berproses dan juga bermanfaat untuk orang lain. 

Tanpa atau dengan jabatan, keduanya sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Setelah semua selesai dan aku berdiri pada posisi saat ini. Ada pemikiran yang sebenarnya aku khawatir jika disampaikan. Tetapi, aku rasa juga perlu untuk membuat teman-teman merasa percaya diri. Bahwa, kita masih dibutuhkan seperti apapun kondisinya. Sekalipun yang membutuhkan itu diri kita sendiri. 

Waktu itu, aku terus berambisi untuk berada di struktural karena alasan yang aku sebutkan di atas. Setelah aku dapat, aku mencoba mencapai tujuan dengan membuat beberapa program kerja. Bagiku, sudah terlaksana meski tidak sesempurna ekspetasi. 

Teman-teman, senyatanya tujuan idealis yang kita bawa sebelum memperoleh jabatan itu hanya akan menjadi bahan taruhan selama kita duduk di singgahsana. Sekuat apa, kamu tetap pada tujuan itu meski banyak baku hantam. Bahkan, terkadang dari orang kepercayaanmu. Sejauh apa, kamu akan tetap berjalan pada rel untuk mencapai tujuan itu. Kita anggap, bahwa struktural adalah jalan yang efisien dan efektif untuk mewujudkan cita-cita mulia itu. Senyatanya, cita-cita mulia kita berbeda dengan versi yang lain. Hal ini, yang membuat orang-orang di struktural tetap berjalan alot. Belum lagi, kepentingan brengsek yang mencoba menyentuh mereka. 

Keadaannya, di sana tidak seindah yang kita pikirkan. Selain itu, kita dituntut sempurna dalam segala sisi. Bagi mereka yang masih memiliki semangat yang besar, akan menyebut itu sebuah tantangan. 

Kemudian, selama kita berada di struktural. Kita hanya difokuskan pada program kerja yang akan mewujudkan visi itu. Pikiran kita terpenjara, bukan tidak mampu tetapi ditahan untuk menjangkau yang lebih luas dan dipaksa mengacuhkan hal yang sepele. Saat itu, standar manusia akan mempengaruhi. 

Ini yang aku rasakan, setelah aku melepaskan. Aku merasa lebih bebas, pikiranku lebih nakal. Dan aku merasa gelisah pada permasalahan sepele atau yang luas. Aku tetap berpikir dan bergerak tanpa mempedulikan penilaian orang lain. Karena tidak ada kursi yang harus aku jaga kehormatan dan nama baiknya. Dan mereka juga tidak tertarik dengan gerakan tanpa jabatan. Mungkin karena tidak terlalu mencolok. 

Tetapi, sebagai manusia yang tetap bersanding dengan manusia lain. Senyatanya, tetap ada batasan dari kebebasan. Sejauh ini aku sangat percaya, manusia adalah makhluk Tuhan yang unik. Kadang kita benci pada sesuatu yang awalnya kita suka. Menerima sesuatu yang awalnya kita tolak. Apapun itu, tetaplah menjadi pemimpin yang mampu bertanggung jawab terhadap pilihanmu sendiri. 

Jangan melihat jabatan dan struktural, selama kamu manusia kamu akan terus berpikir dan bergerak. Buah pikiran itu yang akan tetap membuatmu berguna, sekalipun orang lain mengucilkanmu. Tetap menjadi pohon yang tumbuh subur sekalipun di lahan yang tandus. Berbesar hati terhadap segala kehendak alam yang tidak sesuai keinginan kita. 

Jangan berhenti memperhatikan dirimu sendiri, orang lain dan lingkunganmu. Itu semua adalah indikator untuk kamu tetap menjadi pemimpin. Merasa, berpikir lalu bergerak. Manusia, tidak akan pernah mengenyampingkan perasaannya dalam setiap gagasan dan ide kehidupan. 

Aku, tetap mencintaimu yang tidak memilih diam. 

28 Februari 2021

Catatan Refleksi, SB. 


Posting Komentar

0 Komentar