Penggunaan dua
kata di atas seringkali mengundang kontroversi di kalangan akademisi maupun
aktivis. Di beberapa kajian dengan para sahabat, seringkali mereka tidak
sepakat dengan penggunaan kata kesetaraan. Karena kata tersebut
menginterpretasikan kesamaan antara laki-laki dan perempuan, padahal sekeras
apapun perempuan menuntut persamaan, jelas keduanya (laki-laki dan perempuan) memiliki
perbedaan. Maka kata yang lebih cocok untuk menggambarkan hubungan relasi bukan
dikotomis antara laki-laki dan perempuan baik dalam persoalan pembagian peran
adalah kata keadilan. Sebab dengan menggunakan diksi keadilan, perempuan dan
laki-laki akan memperoleh akses sesuai dengan kadar dan kemampuan yang
dimiliki. Quraish Shihab dalam buku Perempuan mencontohkan tidak adil jika
menuntut seorang dokter membangun jembatan dan seorang petani membedah pasien.
Maka dari itu, yang adil adalah menugaskan seseorang dengan kemampuannya
masing-masing. Berangkat dari realitas kontroversi dan kajian teoritis di atas,
penulis tertarik untuk membedah lebih mendalam dan merefleksikannya bersama
pembaca. Dalam perjuangan ini, kata kesetaraan gender yang harus kita gunakan
ataukah keadilan gender?
Dalam kamus
besar bahasa Indonesia, kata setara diartikan sebagai kondisi setingkat,
sedeerajat dan sejajar. Sedangkan adil, memiliki arti tidak berat sebelah,
tidak memihak, sepatutnya dan tidak sewenang-wenang. Sedangkan Herien
Puspitawati dalam jurnal ilmiah yang berjudul Konsep, Teori dan Analisis Gender
menjelaskan arti kesetaraan gender dan keadilan gender. Kesetaraan gender
adalah kondisi di mana laki-laki dan perempuan dapat menikmati status yang
setara dan mendapatkan kondisi yang sama guna mewujudkan hak asasi dan potensi
bagi pembangunan di segala bidang kehidupan. Sedangkan keadilan gender
adalah kondisi adil bagi perempuan dan laki-laki melalui proses budaya dan kebijakan yang
menghilangkan hambatan-hambatan berperan bagi perempuan dan laki-laki.
Lebih lanjut,
Herien mengutip pernyataan dari United States Agency for International
Development (USAID) bahwa kesetaraan gender adalah memberi
kesempatan kepada laki-laki maupun perempuan untuk setara/sama/sebanding
menikmati hak-haknya sebagai manusia, mempunyai kesempatan, benda-benda,
sumberdaya dan menikmati manfaat dari
pembangunan. USAID kemudian
menyimpulkan bahwa strategi keadilan gender pada akhirnya digunakan untuk
meningkatkan kesetaraan gender. Dengan begitu, keadilan merupakan cara,
kesetaraan adalah hasilnya.
Definisi dari USAID ini memberikan
pemahaman kepada kita bahwa kesetaraan bisa terwujudkan setelah keadilan. Hal
ini bertentangan dengan pernyataan Quraish Shihab yang mengatakan bahwa persamaan
diartikan sebagai kesetaraan, dan jika ia telah terpenuhi maka keadilan pun
akan tegak, karena keadilan tidak selalu berarti persamaan.
Kita sangat tahu, bahwa adil tidak pasti sama
atau setara. Seperti yang mungkin telah dipraktekkan oleh orang tua kalian,
ketika ingin memberikan uang saku kepada anak yang usia dan jenjang pendidikan
berbeda maka harus sesuai dengan kebutuhan mereka di masanya. Mereka memperoleh
perlakuan adil, sesuai dengan yang mereka butuhkan. Kondisi ini
menginformasikan bahwa keadilan tidak pasti sama, begitu juga sebaliknya bahwa
sama tidak mesti adil.
Sampai di sini masih bingung, ya? Mari kita
coba lihat dari segi konteksnya. Asghar Ali Engineer menjelaskan dalam bukunya
yang berjudul Hak-hak Perempuan dalam Islam bahwa Al-Qur’an mengatakan pertama,
keduanya (laki-laki dan perempuan) setara dalam hal asal-usul yakni dari satu
makhluk hidup yang sama, karena itu memiliki hak yang sama. Kedua,
Al-Qur’an memuliakan keduanya tanpa perbedaan jenis kelamin. Sebagaimana dikatakan
dalam sebuah ayat bahwa “mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian
bagi mereka”, ayat ini seakan mengisyaratkan kepada kita bahwa yang satu
membutuhkan pada yang lain, karena itu tidak mungkin ada ketidaksetaraan jika
ada fungsi saling melengkapi.
Asghar Ali juga menegaskan bahwa yang
diisyaratkan secara kongkrit oleh kesetaraan gender adalah secara umum
merupakan penerimaan martabat kedua jenis kelamin dalam ukuran yang setara atau
sama. Lalu lebih spesifik lagi, orang harus menyadari kalau laki-laki dan
perempuan mempunyai hak-hak yang setara dalam bidang sosial, ekonomi dan
politik.
Dari berbagai penjelasan di atas, justru
aku melihat bahwa keadilan gender akan hadir setelah kesadaran akan kesetaran
gender. Seseorang, lebih dulu harus meyakini bahwa dari sisi Islam perempuan
dan laki-laki membawa martabat dan posisi yang sama ketika dilahirkan ke dunia
dan secara sosial dan budaya mereka memperoleh hak yang sama untuk mengakses
kesetaraan. Jika pemikiran demikian sudah teradopsi oleh setiap insan di dunia
ini, kemudian mereka mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Maka akan
tercipta keadilan, di mana kita akan mempertimbangkan kapasitas, kualitas dan
kapabilitas yang mereka miliki (laki-laki dan perempuan) setelah berhasil
mengakses kesetaraan untuk memberikan mereka kesempatan di suatu posisi. Jadi
pertimbangannya bukan lagi karena di laki-laki atau perempuan, melainkan sebab
potensi yang mereka miliki. Dari sini, keadilan akan terpenuhi.
Semisal, ada keluarga yang memiliki dua
anak, laki-laki dan perempuan. Kedua anak tersebut suka sekali menjadi pengamat
politik, sehingga mereka tertarik untuk memiliki kekuasaan dan wewenang
sebagaimana tokoh politik yang mereka gemari. Lalu orang tua mereka memberikan
akses terhadap kesetaraan, di mana mereka memperoleh pendidikan yang sama dan
akses jaringan yang sama. Lalu pada saat tes uji kelayakan dan kemampuan,
ternyata anak perempuan yang memperoleh kesempatan. Proses untuk memperoleh
kesempatan tersebut adalah kondisi yang adil bagi keduanya. Karena itu,
keadilan gender akan diperoleh setelah memperoleh akses terhadap kesetaraan
gender.
Dari Balik Tabir Puan
SB, 10 April 2022

0 Komentar