Malam yang
hening membuatku kembali terpaku, aku linglung bahkan tidak merasai sedikitpun
gerak dari tubuhku. Ini bukan soal raga yang sakit, tetapi hatiku, entah kenapa
dia kembali terjatuh. Tahulah kalian, bahwa ‘tak ada sakit yang lebih
menyakitkan dari sakit hati itu sendiri. Tetapi, seharusnya aku sadar bahwa
sakit hanya dimiliki oleh orang-orang yang ‘tak menyadari keberadaan Tuhan,
atau bahkan memungkiri.
Tetapi,
inilah kisah hidupku, kisah hidup yang ‘tak banyak orang tahu. Situasi ini
sebenarnya sudah tidak asing dalam hidupku, tetapi mungkin cara penciptaan
situasinya membuatku lebih sulit untuk melupa. Beberapa kali dia muncul dalam
ingatanku, sebanyak itu pula nasehat Ibu kembali teriang dalam memori. Sakit
yang diciptakan adalah sakit yang hadir bersamaan dengan kerinduanku terhadap
Ibu.
“Nduk, kalau
nikah cari orang yang deket saja, biar bisa ikut kamu pulang kesini.”
“Nduk,
laki-laki itu yang terpenting bertanggung jawab dan bijaksana.”
“Nduk, cepet
berikan Ibu mantu, kamu ndak pingin cepet nikah, ta?”
“Nduk, kamu
itu jangan sekolah dan organisasi terus, ingat nikah, jangan sampek nanti Ibu
ndak nututin kamu nikah.”
Aku tahu,
bahwa semua nasehat itu hanya mampu aku reka ulang dalam ingatan dan hatiku.
Beberapa kalimat itu juga yang membersamai aku dalam memilih, bahkan memutuskan
pelabuhan hati. Meski aku sudah tidak sempat untuk menghadirkan jodoh saat Ibu
ada di sampingku, tetapi memenuhi nasehat beliau adalah salah satu wujud
pengabdian yang ingin sekali aku lakukan.
Saat ini,
hal itu benar-benar aku pikirkan. Mungkin orang banyak tahu, bahwa aku adalah
perempuan yang hanya focus pada karir, belajar dan mengejar cita-cita. Mereka
tidak tahu bahwa keluarga termasuk tujuan terpenting dalam hidupku, aku sadar
bahwa dari keluarga kita bisa membangun sebuah generasi Bangsa. Aku ingin
membangun sebuah keluarga yang sederhada dengan tujuan yang besar, karena itu
aku tidak butuh lelaki yang berwujud besar dalam segala hal (harta, ilmu dan
tahta) tetapi memiliki tujuan yang sederhana (orientasi diri sendiri).
Bagiku,
semua hal yang dapat dipandang itu adalah kasat mata, sebaliknya, sesuatu yang
kasat mata bisa menjadi nyata. Semua itu terletak pada hati dan pemikiran,
sesuatu yang tidak bisa ditembus dengan mata telanjang. Karena itu, obrolan
yang ingin aku bangun dalam sebuah hubungan adalah “Apa visi hidupmu?”
Aku juga
tidak pernah berkeyakinan bahwa hanya orang-orang berpendidikan tinggi dan
berpengalaman luas yang memiliki tujuan hidup besar, tujuan hidup yang tidak
hanya tentang dirinya. Bapakku, hanyalah seorang lulusan sekolah dasar, tetapi
mampu berkali-kali bikin aku jatuh cinta sebab pandangannya soal hidup.
Sebaliknya, beberapa orang berpendidikan dalam hidupku, justru membuatku jijik.
Karena itu,
hal besar yang terlihat oleh mata terkadang tidak sesungguhnya besar. Maka,
berhentilah terkagum dengan sesuatu yang nyata tapi sesungguhnya kasat mata.
Jangan lupa, kita hanyalah manusia yang tidak sekalipun melampaui batas
pengetahuan-Nya. Berserah kepada Tuhan atas segala penilaian.
Alhamdulillah, satu pelajaran hidup kembali aku dapatkan
dari seorang laki-laki. Bagiku, dia adalah orang baik, meski rasaku mungkin
tidak akan pernah berbalas, tetapi aku tidak pernah menyesal merasakannya.
Sebab, semua ini hadir karena campur tangan Tuhan. Di balik semua sakit pasti akan
ada sembuh, di balik sedih akan ada bahagia. Sebagaimana yang sudah diamanahkan
oleh Ibu, aku melihat dialah jawabannya. Dia sopan, bertanggung jawab kepada
keluarga, menjaga sholat, dan rumahnya cukup dekat. Melihat sosok dia, seperti
aku melihat Ibu. Mungkin itu yang membuat aku sedih dan patah meski belum
sempat memulai.
Sebenarnya,
aku cukup tahu diri, tidak bakal aku mengetahui sifatnya begitu detail tanpa lebih
dulu aku menduga dia pun memiliki rasa yang sama. Tetapi, ternyata dugaanku
terpatahkan dengan sikap dia yang sudah berbeda. Dari alasan yang dia sampaikan
aku cukup menerima. Sebagai manusia, dia sudah menunjukkan kemanusiaannya,
meski mungkin ada sedikit yang terlupa, bagaimana cara bilang “pamit”.
Terima
kasih, saat ini aku tidak memberikan keputusan apapun atas situasi ini, biarkan
Tuhan yang berperan. Aku juga tidak berharap Dia akan berpihak pada
keinginanku, sebab Dia lebih tahu yang aku butuhkan. Bisa saja penilaianku
salah dan hanya Tuhan yang Maha Tahu. Jika Dia menjauh, maka Tuhan lebih tahu
mana yang benar-benar menjawab doa Ibu.
Menyadari
aku mampu menulis begini, membuatku begitu berterima kasih kepada orang tua.
Kepada almarhumah Ibu, yang tetap menjaga dan mengawasi aku dari sana.
Maafkan, kali ini anakmu gagal lagi, maafkan, anakmu belum bisa memenuhi
permintaan itu, maafkan, anakmu belum bertemu dengan dia, yang selalu Ibu sebut
dalam doa. Tetapi, aku selalu berusaha untuk menjadikan hal ini sebagai sesuatu
yang ada dalam pikiranku, doakan aku supaya bisa berlabuh pada hati yang benar.
Sudah cukup
gadis itu, merasai semua dinamika hidupnya. Dia beranjak dari tempat duduk
dengan mata kembali berbinar dan senyum merekah dari bibir mungilnya. Seperti
biasa, dia mengakhiri segala tangis dengan berserah. Laa haula waa laa quwwata
illa billah.
SB, Dari Balik Tabir Puan
2 Maret 2022
0 Komentar