Kalimat
dalam bahasa Belanda di atas, memiliki arti yang tidak lagi asing di telinga
bangsa Indonesia, "Habis Gelap Terbitlah Terang". Sebuah buku yang
menjaga semangat dan keyakinan perempuan hingga sekarang. Kumpulan surat R.A
Kartini (1879-1904) yang dihimpun oleh Mr. J. H. Abendanon tersebut pada
kenyataannya telah banyak dimanipulasi. Ada bahasa yang lebih halus digunakan,
bahwa Abendanon hanya tidak menghimpun secara utuh surat-surat itu, sehingga
informasi tentang Kartini tidaklah sempurna disampaikan dalam buku terbitan
Balai Pustaka (dalam bahasa Melayu) tersebut.
Pada
pembahasan sebelumnya, saya telah mengungkap sisi lain dari Kartini. Bahwa pada
kenyataan yang ditulis oleh Pram, garapan Kartini tidak melulu soal pengajaran,
pendidikan, atau kaum perempuan. Dia adalah seorang pejuang perempuan yang luas
pemikiran dan cita-citanya. Kartini membahas seni, dia juga membahas politik,
terlebih kejengahannya atas budaya feodalisme yang memberikan istana megah
namun tampak penjara dalam hidupnya. Meski dia salah seorang yang terjamin,
tetapi dia memilih keluar dari nyaman, sebab boleh saja raganya menerima macam
kemewahan, tetapi tidak begitu dengan jiwa dan pemikiran yang terpenjara.
Kartini sadar kemudian dia melawan. Dia juga pandai membaca peluang untuk
peroleh kemajuan pribumi. Jika pun dia berbicara di depan umum, betapa
keberanian mengungkap kejujuran atas pribumi yang hidup dalam ancaman kematian
yang 'tak disadari, semua bakal bungkam dan mengakui kebenaran dalam hati.
Meski tidak semua ambil posisi untuk membantu Kartini.
Lebih
dari pada itu, pada kenyataannya, mereka yang menolong pun tidak sejatinya
untuk pribumi. Tetapi, tidak lepas dari keuntungan Pribadi. Seorang perempuan
pribumi yang berpikiran maju sekaligus memiliki jiwa pemberontak, tentu saja menjadi
senjata politik Belanda yang tajam. Kartini sebagai sosialis yang humanis,
tentu menjadi corong berkualitas tinggi bagi politisi sosialis yang ada di Nederland,
waktu itu Van Kol dari sayap ini datang langsung ke Jepara untuk membuktikan
keberadaan perempuan cerdas ini. Van Kol menjanjikan agar Kartini bisa
berangkat ke Belanda untuk memperoleh banyak amunisi agar suatu hari dapatlah
dia memberikan kemajuan bagi pribumi. Tawaran tersebut disambut dengan semangat
menggebu-gebu oleh Kartini.
Tetapi,
'tak sampai pada realisasi, seorang tokoh sayap liberalis, meruntuhkan
keyakinan Kartini. Mr. J. H. Abendanon, memberikan keyakinan pada Kartini bahwa
untuk memajukan pribumi, tidak haruslah dia berangkat ke Nederland. Lagi pula,
alasan yang diberikan oleh Abendanon, tidaklah dapat ditolak oleh nurani
Kartini. Bahwa yang demikian, tidaklah disetujui oleh Ayahnya. Kartini sangat
mencintai Ayah juga Rakyatnya, sehingga dia memilih jalan yang bisa
menyelamatkan cinta pada keduanya. Sejak saat itu, Kartini mulai ketergantungan
pada keluarga Abendanon, tanpa disadari bahwa sesungguhnya Kartini sedang
berkontribusi pada pribadi Abendanon dalam persaingan politik di Nederland. Dan
sesungguhnya, perempuan cerdas pribumi itu ‘tak lebih sebagai media pembangkit
semangat pribumi laki-laki untuk berpendidikan tanpa biaya dari pemerintahan Hindia
Belanda. Jika itu terwujud, maka dapatlah Belanda memperoleh pekerja
berintelektualitas tanpa keluar biaya sepeser pun.
Upaya
meraup keuntungan itu tidak berhenti meski perjuangan Kartini sudah berakhir di
dunia, karena lebih dulu dia dipanggil ke pangkuan Tuhan. Sebab, Mr. J. H.
Abdendanon menghimpun surat-surat Kartini dan diterbitkan pada tahun 1911. Pram
mengatakan bahwa dalam proses penghimpunan tersebut Abendanon sama sekali tidak
meminta izin atau saran dari siapapun. Bahkan Pram mengatakan bahwa upaya
tersebut bagian dari “One man business” atau “urusan pribadi” Mr. J. H.
Abendanon. Klaim yang diberikan oleh Pram kepada Abendanon tersebut bukan tanpa
alasan, sebab:
1. Gagasan menerbitkan buku
tersebut muncul karena mayoritas surat yang tertuju pada keluarga Abendanon,
dari 105 surat, 61 surat milik keluarga tersebut.
2. Perbandingan angka di atas menegaskan
keakraban Kartini dengan keluarga Abendanon, sehingga hal demikian memberikan
peran penting kepada Abendanon untuk bisa memasuki kabinet.
3. Selain itu, juga memberikan
peran penting dalam politik ethik kolonial. Hemat saya, peran itu sebab
keakraban Kartini dengan Abendanon yang memiliki kecenderungan liberal yang
menghendaki adanya persahabatan dengan pribumi, tanpa kemerdekaan.
4. Adanya kecemburuan Internasional.
Sebab India sebagai koloni Inggris, memiliki Pandita Ramabai, seorang perempuan
berpikiran maju yang karena perjuangan dan sepak terjangnya mendapatkan simpati
internasioinal. Melalui Kartini, Belanda hendak menyampaikan bahwa dirinya
tidak kalah maju di Negeri jajahan.
Tidak
berhenti di situ, Pram juga memberikan prasangka yang tidak kalah untuk dibenarkan.
Dari semua surat yang dihimpun, tidak satu pun yang tertuju kepada pribumi.
Kenapa Abendanon tidak berupaya untuk mencari sepucuk saja untuk diumumkan? Hal
ini memberikan prasangka bahwa proyek menghimpun surat tersebut bagian dari
Politik Ethik Hindia Belanda. Di mana Belanda selamanya sebagai pemnberi
pribumi yang pemurah.
Begitu
pula terjadi pada terjemahan bahasa Melayu yang diupayakan oleh Baginda
Abdoellah Dahlan, Baginda Zainoedin Rasad, Soetan Muhammad Zain dan Baginda
Djamaloedin Rasad yang diterbitkan oleh Commissie voor de Volkslectuur
(sekarang: Balai Pustaka) di bawah pimpinan Dr. D. A. Rinkes. Jika masih ada
komposisi yang tidak benar dalam penerjemahan yang dilakukan oleh orang
Indonesia sendiri, akankah mereka telah meragukan atau bahkan melakukan
pengkhianatan atas perjuangan Kartini?
Pertama,
terjemahan dilakukan secara harfiah. Artinya, para penerjemah di atas sama
sekali tidak melakukan penambahan atau pengurangan substansi surat Kartini yang
telah diupayakan dalam bahasa belanda oleh Abendanon. Paling tidak, buku
tersebut sama persis dengan sosok Kartini yang telah diupayakan Abendanon.
Kedua,
dari sekian surat dalam bahasa Belanda, 17 pucuk tidak dimelayukan dalam Habis
Gelap Terbitlah Terang. Sehingga yang ditonjolkan dalam terjemahan ini sama
sekali bukan tentang perjuangan. Melainkan ratap tangis, keputusasaan,
hilangnya akal bahkan ketergantungan kepada Belanda.
Ketiga,
komposisi yang sudah diupayakan oleh penerjemah, bukan tidak mungkin mengalami
penyuntingan di meja penerbit. Jadi, jika ada kemudian penuruan nilai yang
disampaikan dalam buku terbitan Melayu, itu bukan berarti hal yang disengaja
oleh penerjemah. Bisa saja waktu itu, Dr. D. A. Rinkes menjadi kepanjangan tangan
pemerintah Hindia Belanda dengan dalih politik penerbitan Volkslectuur,
yang bertugas menerbitkan buku murah untuk meningkatkan pengetahuan umum
masyarakat, namun tidak boleh mengajarkan kemerdekaan.
Begitulah
kenyataan yang harus kita terima, bahwa ketika Anda membaca buku “Panggil Aku
Kartini Saja” Karya Pramoednya Ananta Toer ini, banyak kesalahpahaman yang kita
agungkan kepada Ibu Bangsa tersebut. Bahkan, perannya tidaklah lagi sebagai
seorang Ibu, melainkan Bapak pula. Sebab, pergerakan yang dia lakukan juga soal
pengentasan pribumi dari kemiskinan. Dia tidak hanya bicara pendidikan dan kaum
perempuan sebagaimana yang melekat dalam pemikiran kita selama ini.
Pada BAB
sebelum saya mengetahui komposisi yang disengaja oleh pemerintah Hindia Belanda
terhadap buku fenomenal Kartini “Habis Gelap Terbitlah Terang”, banyak tanya
yang kemudian muncul dalam pikiran saya, terutama mengenai, kenapa Kartini
hanya dikenal sebagai pejuang emansipasi wanita? jika garapan beliau sedemikian
luasnya? Pada BAB selanjutnya kemudian dijawab oleh penjelasan kesengajaan
komposisi tersebut.
Sebagaimana
saya hanya mengetahui komposisi buku tersebut dari tulisan Pram, tanpa pernah
membaca langsung atau meneliti komposisi mulai dari cetakan pertama hingga
sekarang. Maka saya tidak menuntut pembaca untuk meiliki pembenaran yang sama
dengan saya dan Pram. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa kesengajaan komposisi
sebab politik ethik kolonial Belanda saat itu sudah benar memberikan impect
yang signifikan dan mendarah daging terhadap pemahaman kita tentang sosok Ibu
Bangsa, R.A. Kartini. Bahwa kita selama ini mengenal dirinya sebagai pejuang
pendidikan kaum perempuan, yang mencerahkan dan mengupayakan sekolahnya
perempuan pribumi. Bahkan, dalam cerita yang diangkat dalam film, hal tersebut
pula yang dikuatkan. Tidak kemudian cerita Kartini tentang upayanya
mengentaskan artis jepara dari kemiskinan, atau situasi di mana Kartini
berbicara persoalan politik, atau proses memperoleh gagasan demokrasi dan
strataeginya untuk menyampaikan gagasan tersebut kepada penduduk Jawa yang dia
panggil sebagai bocah gede (Orang yang memiliki pertumbuhan jasmani yang
tidak diimbangi dengan pertumbuhan jiwa).
Sejarah
Kartini ini memberikan banyak pelajaran bagi kita, baik dari segi konteks dan
karakter peruangan, maupun lingkungan yang mendukung, melemahkan atau bahkan
bertopeng. Saya tidak berani menyebut Abendanon berada dalam lingkungan Kartini
yang mana, yang jelas, dia sudah berhasil menanamkan karakter Kartini
sedemikian rupa terhadap generasi Bangsa. Dari lingkungan Kartini yang berasal
dari Abendanon, kita juga belajar bahwa jika kita menginginkan sejarah itu
tidak dimanipulasi, maka jadilah pelaku sekaligus penulisnya. Pada cerita
selanjutnya, ternyata kita tidak cukup menjadi penulis, tetapi juga turut
melahirkan generasi bangsa yang berintegritas. Sehingga kemudian, ‘tak sampai
hatilah dia untuk mengkhianati segala bentuk perjuangan.
Dari Balik Tabir Puan
12 Februari 2022
4 Komentar
Favorit banget baca tulisannya bella
BalasHapusTerima kasih banyak, semoga ada manfaat.
HapusMasyaallah...nkeren.... Muhyidn
BalasHapusTerima kasih, Ustadz. Dukung selalu, nggeh.
Hapus