~Aku baik-baik saja, Mak~



Sudah purnama ke enam Mamak pergi. Aku menyadari sudah selama itu aku belajar di dapur seorang diri. Tapi, tidak se rajin waktu Mamak di sampingku. Kesiangan, malas nyapu, nyuci baju, sehingga kalau semuanya udah numpuk barulah kerasa sekali capeknya. Anak gadismu ini masih suka malas kalau urus rumah, tapi aku sudah merasakan tanggung jawab seperti apa yang dulu Mamak emban sebagai seorang Ibu dan istri. 

Tidak tahu aku ingin menulis apa di sini. Hanya saja aku ingin menyampaikan semua perasaanku kepada Mamak.

Mak, aku juga sudah mulai mengerti arti cinta terhadap keluarga. Aku sudah benar-benar merasakan kehadiran mereka, karena itu aku pula menyadari betapa egoisnya aku dulu yang hanya mementingkan urusan luar. Jannah,  cicitnya Mamak sekarang tumbuh menjadi anak kecil yang cerdas, hiperaktif dan cantik. Kadang, aku juga merasa kangen ke dia kalau sudah seharian nggak ketemu, Mak. Aku tahu rasanya merindukan keluarga, sejak hari ini. Mungkin sejak Mamak pergi, ini satu-satunya hikmah luar biasa di balik rindu yang kadang menyiksa. 

Oh, ya, Jannah juga kadang rindu Mamak, dia nangis histeris dan kadang meraih tubuhku, memeluk selagi memanggil Mamak "Oyot endut!" begitu dia teriak berkali-kali. Sedang air matanya berlalu membasahi pundakku. Kita semua masih dan akan selalu mencintai engkau, Mak. Betapa banyak pelajaran hidup yang engkau wariskan terhadap kami. 

Bapak semakin semangat kerjanya, Mak. Ya, meskipun beliau sering mengeluh sakit setelah bekerja. Sebenarnya, badan beliau sudah banyak mengalami perubahan, semakin sepuh beliau. Aku berkali-kali meminta beliau untuk tidak terlalu capek bekerjanya, tapi jawaban beliau lagi-lagi anak gadis manja ini alasannya, "Gimana nggak semangat kerja, orang masih ada satu tanggung jawab." Meski dengan badan lesu, beliau berkata begitu dengan semangat yang membara, terpancar sekali dari mata. Entah, sampai kapan aku akan berakhir menjadi beban orang tua. Tetapi, setiap aku menilainya itu beban, Bapak selalu menegaskan kalau itu tanggung jawab. Beliau laki-laki yang luar biasa, cinta kepada engkau juga 'tak mudah membuat beliau berpaling. 

Bahkan, saat aku wisuda kemarin, beliau sempat mundur ketika aku ajak ambil foto, Mak. Beliau mundur dengan mata berkaca-kaca, aku merasakan betul kerinduan itu. Tapi tidak apa, senyatanya beliau tetap memelukku, beliau mau diajak foto. Dan kita foto berdua dengan bahagia. 

Aku juga menjalani kehidupanku dengan normal, masih ngajar, di kampus dan kegiatan organisasi bersama adik-adik. Ya, meski tidak sepadat dulu, aku tetap bahagia melakukannya. Dan, Mak, ketika aku lebih sering terlihat bahagia, banyak kerabat yang bertanya kepadaku "Kamu tidak rindu, Emak ta?"

Setiap pertanyaan itu datang, aku selalu menghela napas panjang, saat itu atau ketika aku kembali mengingatnya. Ada satu kalimat yang itu menampar dan membuatku menemukan jalan lain untuk bisa terus dekat dan terhubung dengan Mamak. 

"Bangkitlah, Emakmu memberikan kamu pendidikan pesantren, sekolah tinggi-tinggi, kamu menjadi berpengalaman begini bukan untuk kamu terbaring lemah. Tetapi supaya kamu bisa ngaji, berbuat baik, dan niatkan semua untuk amal jariyah Emak."

Sejak saat itu aku menemukan arti kehidupan yang lain, setelah Mamak pergi, bahwa sebagian hidupku adalah pengabdian atas engkau, Mak. Dengan harapan Tuhan mendengar dan mengabulkan, sehingga Mamak di sana bahagia. 

Sejak saat itu aku menemukan tafsir lain dari rindu, bahwa dia 'tak harus menuntut temu. 

Sejak saat itu, tafsir cinta menegaskan, bahwa benar dia  'tak harus memiliki. 

Sejak saat itu, aku semakin percaya bahwa Tuhan mempunyai cara yang berbeda untuk berbelas kasih kepada hamba. 

Ketahuilah, Mak, di akhir kalimat ini, aku menulisnya dengan tersenyum. Tidak ada lagi air mata seperti di paragraf sebelumnya. Karena aku begitu menemukan keagungan Tuhan. Mamak, doa dan ridho engkau tetap Sinta harapkan. Lepas dari semua tantangan hidup setelah Mamak pergi, Sinta berani bilang "AKU BAIK-BAIK SAJA, MAK."

Siapapun yang membaca tuntas tulisan ini, mohon sambung Al-Fatihah untuk Emak saya (Karsi Binti H. Syafi'i). Terima Kasih, semoga Allah yang membalasnya. 

Catatan Story, SB.

Posting Komentar

0 Komentar