Gemericik air membersamai alunan syahdu nada cinta kasih dua manusia. Cukup berikan kesejukan di lubuk hati. Damai, bahkan terik matahari yang membasahi tubuh 'tak menyulutkan langkah kami. Terus berjalan dan berusaha menemukan ironi. Yang sering diperbincangkan dan dikeluhkan. Begitulah motivasi kami untuk sampai di Ibu kota.
"Ada surat vaksinmu, Nduk?" Anak itu terus merogoh kantong-kantong di tasnya. Sedang, mas-mas yang bertugas sudah mendesak kami untuk segera masuk di pintu pembelian tiket KRL.
"Nggak ketemu, Mbak."
"Yaudah, pakai aplikasi peduli lindungi saja." Segera dia download dan log in. Setelah aman, baru kita beli tiket. Transportasi umum ini sangat recomended untuk kantong yang lagi menipis. Waktu itu kami berangkat dari Bekasi, dua orang hanya 28 ribu. Itu pun uang bisa kembali jika di stasiun pemberhentian kita mengembalikan tiketnya. Tetapi, kami mendapat pesan dari senior yang membiayai perjalanan untuk dibawa pulang saja. Supaya menjadi kenang-kenangan. Hehehehe.
Sekitar satu jam, kami sudah menginjakkan kaki di Jakarta Pusat. Tepatnya, stasiun cikini. Masih belum kurasai betul atmosfer yang dibilang orang-orang. Bahwa Jakarta keras, kalau bukan mental petarung nggak bakal bisa hidup di sana. Tetapi, sejak kami keluar dari rumah senior di Bekasi, ada satu jawaban yang kutemukan. Yaitu jalan yang macet betul di jam kerja, bahkan grab yang membawa kami bisa berjalan setiap lima menit dengan perpindahan jarak yang tidak seberapa. Ternyata, grab kami masih dikawal senior, beliau meminta supir untuk lewat jalan pintas. Karena kami memang dikejar waktu, supaya tidak ketinggalan KRL.
Selain itu, meski tiket KRL terbilang murah, fasilitas di dalamnya tidak bisa memuaskan semua penumpang. Mungkin hanya seperempat dari kita yang bisa duduk, lagi-lagi, karena kami melakukan perjalanan di jam kerja, KRL terasa penuh. Sedang di ujung pintu yang lain, sekitar jarak 1 meter dengan kami, ada satu wajah lelaki yang mencurigakan. Dia mengawasi kami mulai dari ujung kaki hingga kepala, matanya yang merah menelisik barang bawaan kami. Insting curigaku bermain. Aku sama adikku hanya bermain mata, ketika turun kutanya apakah dia memiliki kecurigaan yang sama. Ternyata, iya. Tetapi, 'tak sampai melakukan hal yang kita takutkan, laki-laki itu entah ditelan stasiun mana. Dia raib bersama kebingungan kami tentang stasiun Cikini. Sepanjang perjalanan kami selalu bertanya apakah sudah sampai di tujuan. Ada satu perempuan yang tidak bosan menjawab pertanyaan yang sama ini. Senyatanya, masih ada manusia baik di tengah kerasnya Ibu Kota.
"Mbak, aku lapar," ujar adikku sekeluarnya dari Stasiun Cikini.
"Cari makan dulu, yuk, sambil nunggu chat dibalas senior." Kami berjalan sepanjang trotoar stasiun yang berpagar. Semakin jauh 'tak kunjung kami temukan pintu keluar. Alhasil, si adik yang sudah nggak kuat nahan lapar memilih toko roti'O untuk mengganjal rasa laparnya. Dia mencomot rotinya dengan semangat, sedang aku masih fokus membalas chat dari orang-orang yang akan kami temui selama di Ibu kota. 'Tak lama kemudian, senior yang menjadi tujuan pertama kami membalas chat. Di tempat beliau juga kami akan bermalam selama di Jakarta.
"Sory, Bel, aku baru selesai mandi."
"Siap, Mbak, nggak apa-apa. Arahannya kami ke tempat smean harus naik apa."
"Jalan kaki aja, Bel, deket, kok." Beliau share lokasi sekaligus memberikan arahan lewat chat.
"Nggak naik Bajai aja kah, Mbak? Ini banyak Bajai di sini." Aku masih merayu, karena kami merasa capek betul kalau harus jalan kaki.
"Nggak usah, mahal, jalan kaki saja sambil lihat-lihat pemandangan. Lagian deket." Kami memilih sami'na wa atho'na. Jarak yang kami tempuh cukup hadirkan peluh di sekujur tubuh.
"Kayaknya kita diuji senior ini, Mbak." Timpal adikku sambil memimpin jalan.
"Hahaha, iya, Dik. Nikmatin saja."
Kami 'tak langsung sampai begitu saja, masih mengandalkan maps konvensional, yaitu bertanya kesana kemari. Setelah kami temukan pintu rumah kos nomer sekian, kutelfoni lagi senior kami untuk memastikan. 'Tak ada jawaban, kami tetap menunggu di depan pintu. Sampai akhirnya seorang bapak tua menegur kami, "Nyari siapa, Mbak?" Kusebut nama senior kami. "Oh, ya, mari saya antar, Mbak." Beliau memimpin dengan ramah jalan kami. Menaiki tangga dan kemudian sampailah kami tepat di depan pintu kamar kos senior. Kami berterima kasih pada Bapak itu dan beliau berlalu meninggalkan kami. Adikku yang bajunya basah sebab keringat, langsung memilih mandi. Usai kami menuntaskan pelukan rindu dengan senior. Saat kami asik berbincang, tiba-tiba bapak tadi muncul lagi di pintu kamar kos dengan membawa dua pasang sepatu.
"Terima kasih, Pak, maklum mereka terbiasa masuk masjid," ujar senior kami dengan nada guyon. Ya, sepatu yang kami lepas di bawah diantarkan oleh bapak tua tadi.
Usai bersih-bersih diri, senior mengajak kami ke tempat kerja beliau. Gedung wakil rakyat terbesar di Indonesia. Sebagaimana orang desa yang sok kota, kami diajak keliling gedung itu. Mencari spot foto yang khas, supaya orang-orang tahu kalau kami benar-benar habis mengunjungi Kak Puan. Hahahaha, sayangnya waktu itu beliau masih ada di luar negeri. Alhasil, hanya bisa ambil foto di depan ruangan beliau. Itu saja, karena kebetulan senior kami harus mengantar berkas ke ruangan beliau.
Hal yang paling mengganggu pikiranku ketika berjalan menyusuri setiap ruangan di gedung itu adalah bahwa apakah tidak sembarang orang bisa masuk? Dibuktikan dengan deteksi Id Card untuk membuka pintu. Kami bisa masuk karena senior kami memilikinya, sebagai salah satu TA Dewan Perwakilan Rakyat. Jika gedung ini sering dibilang sebagai rumah rakyat, kenapa tidak sembarang rakyat yang bisa masuk? Apakah ini rumah rakyat yang bukan sebenarnya tempat mereka berpulang? Apakah ini hanya tempat berpulangnya rakyat dari kelas elit. Yang memiliki akses untuk bisa masuk? Tapi, jauh dari pikiran yang brengsek ini. Salah satu bagian otakku menjawab, pastilah ada cara untuk rakyat bawah masuk kesini, meski mungkin prosedurnya ribet dan alot, atau hal yang paling jelek adalah ujung-ujungnya, ya, mereka gak bakal bisa masuk. Atau alasan lainnya, aspirasi diwakilkan. Entah sampai atau tidak. Hal ini mungkin yang menjadikan alasan ketika kita inginkan suatu perubahan maka harus berada di dalam organ yang kuat dan independen, untuk menyentuh ranah kebijakan.
Pikiran aneh-aneh itu kabur saat senior kami mengajak ke salah satu ruangan, yang menjadi pusat oleh-oleh khas DPR. Khasnya terletak pada logo DPR yang ada di setiap benda di ruang itu.
"Emang kalau di luar gak boleh pasang logo DPR gini, ya, Mbak? Ini bahannya sama, lo, sebenarnya, paling mahal karena si logo DPR itu," gerutuku pada senior yang sudah melibaskan pandang pada setiap souvenir.
"Nggak, tau, ya. Udah, kalian pilih aja yang kalian suka. Jangan yang mahal-mahal tapi, ya."
Waduh, kami digituin, ya, meronta, dong, jiwa ndeso kami. Tidak berpikir panjang, kami langsung cek dan ricek barang yang mungkin kami butuhkan. Si Adek ambil botol air hangat dan aku jam tangan warna hitam, pastinya ber logo DPR. hahaha, ini salah satu bahan untuk pamer, selain foto yang sudah kami take. Receh banget, ya, niat kami. Jangan terlalu diambil hati, just kidding.
Puas dengan muter-muter, senior langsung memenuhi jeritan perut kami yang sudah 'tak kuat tahan lapar. Beliau, selain kerja di gedung wakil rakyat itu, juga memiliki warung bakso. Usaha yang beliau jalankan bersama temannya. Kami menuju ke sana, sekalian menunaikan janji dengan sahabat dari Jember. "Mas, Bella ke tempat baksonya senior, entar aku share lock kalau udah sampai, ya. Kita ketemu di sana."
Kusuka bakso, setiap ke luar kota, kalau masih sempat, pasti ku cobain baksonya. Dari semua yang pernah ku makan, jelas bakso kali ini sangat berbeda. Kuahnya kerasa rempah banget, membuatku lupa sejenak kehidupan Jakarta yang mulai sedikit ku pahami letak 'tak manusiawinya. Karena memang juga kondisi lapar, 'tak membutuhkan waktu lama untuk menghabiskan semangkuk bakso itu. Sedang orang yang kami tunggu belum juga datang. Aku telfon dan layar HP hanya menunjukkan kata "berdering" sampai akhir. 'Tak kupaksanakan, ku pikir dia di jalan. Selang beberapa menit dia tiba dan juga diberikan kesempatan senior untuk santap bakso khas miliknya.
Ritual pemenuhan panggilan perut usai. Si Masnya yang udah kenyang, terus memandangiku dengan senyum yang 'tak bisa ku baca maksudnya.
"Kenapa senyum-senyum gitu?" Dia 'tak langsung menjawab, masih menelisik wajahku yang mungkin baginya lucu.
"Nggak nyangka aku kamu bisa ada di sini, Dek." Oh, ternyata senyum tadi tanda heran, to. Entah itu pujian atau sindiran, ku respon dengan tawa.
"Hahaha, makanya jangan bikin aku penasaran, kau bilang Jakarta keras. Jangan ke Jakarta, cukup kamu saja. Kan, aku jadi penasaran, dong, situasi mengerikan yang kamu sebut itu... Aku sudah cukup memahami, sih. Sekarang pertanyaannya, kenapa kamu bertahan?"
"Ada kesuksesan yang aku pertaruhkan di sini, Dek. Untuk hidup yang lebih cemerlang di masa depan. Untuk pendidikanku, untuk keluargaku." Aku diam sejenak, mengingat sebuah kalimat motivasi yang kulupa dari mana datangnya. Bahwa hidup yang tidak pernah dipertaruhkan, maka tidak akan pernah dimenangkan. Jauh dari lubuk hati yang terdalam, ku rapalkan Amin untuk setiap keinginannya. 'Tak ingin berlama ku usaikan terlelap dalam situasi keharuan. Dan mengembalikan pikir pada topik bakso.
"Harga seporsi yang kami makan ini berapa, Mbak?"
"23 ribu, Bel." Bukan main, ku kaget seketika. Memilih diam untuk memahami.
"Kenapa?"
"Mahal, Mbak. Ya, benar, sih, kuahnya khas."
"Kamu kalau di Jember nggak bakal nemuin bakso seporsi ini dengan harga segitu." Aku cuma respon dengan manggut-manggut.
"Ini salah satu Jakarta dikatakan keras, Dek. Makanya, jangan ada cita-cita untuk tinggal di sini. Hahahaha." Masnya ketawa lepas, seakan menunjukkan kepuasannya karena telah melihat wajah heranku.
Ya, inilah Jakarta, sebuah tempat yang kebanyakan orang dianggap sebagai pusat. Pusat pengambilan kebijakan. Pusat budaya hedon dan pertarungan dunia manipulatif dimulai. Pusat untuk melakukan pembangunan. Setiap orang, secara sadar menghampiri kota ini dengan konsekuensi yang bakal mereka terima. Tapi, sebagian juga datang hanya untuk menikmati legalitas sebagai orang keren sebab telah hidup di Jakarta. Mereka yang seperti ini, cenderung tidak siap dengan pertarungan hidup di Jakarta. Kalau nggak lekas undur diri, mereka akan lama terlantar di Ibu kota yang ternyata 'tak memberikan sedikit pun bahagia. Mungkin, mereka yang terlelap di depan gedung-gedung menjulang tinggi, hanya dengan selapis selimut tipis itu adalah bagian dari mereka yang tidak siap.
"Kenapa mereka tidur di sana, Mas? Apa mereka nggak ada rumah?"
"Iya, di sini banyak yang kayak gitu, Bel. Apalagi di kolong Jembatan."
"Kenapa mereka masih di sini kalau nggak punya rumah, kenapa nggak balik ke kampung halaman saja."
"Mereka yang seperti itu, kadang juga asli orang sini. Harga tanah di sini itu mahal, apalagi lokasinya strategis, orang yang ingin cepat kaya biasanya menjual tanahnya dan nggak bisa ngontrol duitnya. Ya, jadilah begitu. Atau kadang mereka yang cerdas, memilih membawa duit hasil jual tanah tersebut ke kota lain. Di sana mereka akan hidup sebagai orang kaya."
"Owch, gitu, ya, Mas." Jalan yang kami lewati malam itu, cukup memberikan jawaban atas segala tanya selama ini.
"Rumah-rumah di sini rapet sekali, Mas."
"Iya, tapi ini jalan yang kita lewati masih lebar. Ada yang kalau berpapasan harus berhenti dulu salah satu."
"Dan itu di kota?"
"Iya, Bel."
"Hemmm." Aku mengambil nafas panjang. Lalu meminta Masnya untuk pelan-pelan saja. Ku perhatikan, banyak anak kecil yang masih asik bermain-main di sepanjang jalan meskipun menjelang tengah malam. Bagaimanapun, kulihat tawa yang mengembang dari setiap bibir mereka, adalah kebahagiaan dan cinta, yang mungkin rasa ini akan membuat mereka bertahan kelak. Rasa yang 'tak sekalipun memberikan kesadaran tentang adanya penderitaan di Ibu Kota. Sehingga hidup mereka akan cenderung baik-baik saja. Baik versi mereka.
Setibanya di kamar kos, ku taruh semua konflik pikiran yang timbul di sepanjang perjalanan Ibu Kota hari ini. Sebab, bukan hanya raga yang perlu istirahat, tetapi pikir juga, untuk bersiap dengan kenyataan yang mungkin lebih menyakitkan esok hari. Ya, besok, masih ada pertemuan dengan seorang teman, dari dia ku berharap jawaban yang rasional tentang alasannya bertahan meski kata dia "Ibu Kota Keras, kalau bukan mental petarung tidak akan bisa bertahan."
Pagi itu, matahari terlihat sudah bertahta di Ibu kota. Sebagian besar punggawa sudah landas ke tempat kerjanya masing-masing. Sedangkan aku masih setia di jalan depan kos yang tampak begitu lengang. Hanya satu, dua, tiga sepeda berlalu lalang. Untuk menepis kebosanan, ku buka TikTok, menonton postingan-postingan baru yang disuguhkan. Ku sapa beberapa orang yang melintas dengan berjalan kaki di depanku. Tetapi, 'tak ku temukan satu pun respon hangat dari mereka layaknya orang di Jember. Ekspektasiku, bisa berbincang, menelaah Ibu kota lebih jauh, tetapi niatku urung seketika. Memilih untuk kembali pada layar TikTok. Tetiba, layar berganti tampilan panggilan masuk.
"Aku sudah sampai."
"Di mana?" Ku lepaskan pandang ke sekitar. Ternyata dia berhenti di depan rumah yang masih berjarak sekitar 3 meter dari tempatku menunggu. Lambaian tangan dariku membantu dia menemukan keberadaanku. Dia menghampiri dan kami lepas landas menyusuri jalanan Ibu kota.
"Sudah makan?"
"Belum."
"Kita cari makan dulu, ya, setelah itu kita tentukan mau kemana."
"Iya." Kita berdua memilih tempat makan yang ramah pada isi dompet. Di situ ku mulai buka pertanyaan.
"Aku sudah melihat, sih, beberapa indikator kekerasan Jakarta. Tetapi, aku masih penasaran kenapa Abang bertahan dengan segala konsekuensi itu?" Dia 'tak langsung menjawab, masih membenarkan tempat duduknya. Aku terlalu semangat untuk mengungkap. Padahal, kami baru selesai memesan makanan.
"Dari Ibu kota ku berharap bisa membangun daerah. Menata kekuatan dan karir dari Ibu kota akan lebih mudah bagiku untuk membangun daerah."
"Kenapa begitu?"
"Karena Ibu kota pusat dari kebijakan. Dan jika aku sudah bisa bertahan di Ibu kota dengan pertarungan yang keras begini, insyaAllah di daerah pun aku mampu bertahan." Dia diam sejenak, mungkin lagi mengumpulkan serpihan bayangan soal daerahnya berasal.
"Daerahku memang terbelakang, tetapi ku yakin anak mudanya mampu membangun, dengan kesungguhan dan tekad yang kuat."
Sungguh, dia berkata begitu, hatiku juga merasa sakit. Hadir pula dalam pikiranku, bagaimana keadaan daerah yang dia maksud. Penderitaannya untuk bertahan di Ibu kota. Haru juga hadir, ketika ku tahu semua itu adalah salah satu jalan yang dia tempuh untuk kebaikan orang banyak. Untuk bangsa dari salah satu sudut Indonesia. Ku yakin, dia akan mencapai tujuan yang mulia ini.
Meski begitu, ternyata kami ada berseberangan pemikiran. Versiku, membangun daerah tidak harus dimulai dari Ibu kota. Kita bisa membangun dari daerah untuk daerah itu sendiri, dengan harapan wacana dan kebijakan kita tidak menyimpang dari apa yang benar-benar masyarakat butuhkan. Tetapi, tidak ada yang salah dengan upaya dan tujuan yang baik. Selama itu tidak merugikan dan justru untuk kebermanfaatan maka teruslah berjalan.
Udah kita menyantap sarapan sekaligus makan siang waktu itu. Kami melaju lagi ke tujuan yang kami sepakati. Saat kami memutuskan untuk naik Busway karena menambah satu anggota tour lagi, teman kami sewaktu di Jember. Kami berjumpa dengan seorang perempuan yang bernasib malang hari itu. Tiba-tiba dia curhat soal HPnya yang dicopet mengangkat telfon di sepanjang lorong menuju tempat kerjanya. Dia relakan HP itu di bawa pergi. Karena waktu itu, perempuan ini merasa lemah untuk mempertahankan dan memilih mempertahankan hidupnya.
Inilah serpihan kisah selama aku di Ibu kota, ku pungut menjadi satu kisah yang utuh. Kisah ini pula, membuatku menangis sesenggukan saat perjalanan pulang di kereta api. Ku sadari di Ibu Kota, selain pusat kegemilangan yang disebutkan, di situlah pusat kondisi dan sikap 'tak manusiawi. Ku pikir banyak figur dari pemerintahan dan seleb yang mengeluarkan sekian puluh juta atau ratusan juta untuk sebuah tas, sepatu, atau sekedar jam tangan. Lalu, betapa bahagia mereka yang hanya membutuhkan sesuap nasi jika itu terpenuhi? Bukan ku di sini ingin menjudge, tetapi aku belum menemukan jawaban atas pemikiranku sendiri. Di mana sebenarnya letak kepuasan dan kebahagiaannya? Jika kita masih melihat, ternyata banyak saudara kita yang belum menjadi layaknya manusia.
Lebih dari itu, dari teman-temanku yang ada di Ibu kota sana. Mereka sadar Jakarta penuh dengan derita, tetapi mereka memilih bertahan sebab cinta. Paling tidak cinta terhadap dirinya sendiri, yang menghadirkan keprihatinan untuk hidup yang lebih manusiawi di masa depan. Tetapi, sebagai sahabat, ku tetap berharap semoga mereka bertahan dan berkorban di Ibu kota, tidak hanya memiliki tujuan yang orientasinya pribadi. Lebih luas lagi, untuk memikirkan dan menyelamatkan bangsa ini.
Terima kasih teman-teman dan perjalanan yang sudah menyempatkan aku merasakan kisah ini. Semoga Tuhan selalu memberikan kekuatan hati, pemikiran dan raga untuk teman-teman yang sedang bertaruh dengan hidupnya.
Catatan Story, SB.
27 Oktober 2021
2 Komentar
Mantap perjalanannya... Tulisannya makin bagus...
BalasHapusTerima kasih banyak, Mbak.
Hapus