Seperti kataku dulu, aku adalah orang yang miskin tanpa kasih sayang dari Mamak. Kusadari sekarang, itu hanyalah sebagian, sebab masih banyak kasih yang tulus, membersamaiku dalam setiap langkah hidup. Termasuk dari Bapak, Mbak, Cacak (baca: kakak laki-laki), dari ponakan, sepupu, tante, keluarga besar. Begitu pula sahabat-sahabat yang 'tak henti setrumkan api semangat dalam jiwa. Begitu kasihku, setelah Mamak pulang.
Namun, ternyata Tuhan lebih menyempurnakan lagi. Menghadirkan kasihmu dalam hati adalah anugerah yang 'tak pernah kubayangkan. Lebih lanjut, kita memaknai ini cinta. Suatu rasa yang 'tak perlu banyak kata bualan. Kamu, transfer semua rasa itu dengan tulus, begitu pun hatiku menerima keikhlasannya.
Senyatanya, sekarang aku berada pada titik ini. Koordinat di mana aku begitu mengagumi rasamu. Tidak, bukan hanya kagum. Ini rasa yang 'tak bisa dijangkau oleh logika. Sehingga sesekali aku pun dibuat heran. 'Tak apa jika masa dan jarak memberikan ketidak jelasan. Pada suatu malam, katamu untuk meyakinkanku itu, senada dengan keyakinanku. "Jangan terlalu berharap, kita tidak tahu apa yang terjadi di masa depan." Aku diam, tapi ada suara yang berbisik dalam hati, "Cukuplah kita percaya dengan rasa ini, selebihnya biar Tuhan yang berperan."
Setenang apapun kita menghadapi situasinya, senyatanya tetap sama-sama ada ketakutan. Tetapi, aku sadar, bahwa merasakan sebuah ketakutan adalah ketakutan itu sendiri. Tidak perlu diambil pusing, banyak hal yang perlu dipikirkan, yang lebih penting. Bukannya rasa ini tidak penting, bukan, tetapi rasa takut yang nggak jelas itulah yang toxic. Sebenarnya aku yakin, sedari awal, bahwa tujuan dan cita-cita kamilah yang lebih penting. Sebab, ada motif keluarga yang bikin rasa ini harus nomer sekian, ditangguhkan dulu, untuk sebuah komitmen yang telah lebih dulu kami buat dengan jalan hidup, yang katanya untuk kesuksesan. Amin, semoga Allah selalu ridho.
Ketakutan laki-laki yang kupanggil Abang setelah dia minta ini adalah putusan yang dia ambil akan membuat jarak dan masa yang lebih jauh denganku. Akhirnya, kemungkinan yang lebih buruk adalah kita pisah. Ya, selama ini memang kita sudah berpisah secara raga tetapi masih tertaut jiwa kami.
Di seberang telfon kemarin dia pamit. "Abang mau berangkat ke Blitar, setelah dhuhur. Mungkin bakal slow repon sampai besok."
"Iya, hati-hati. Kabari kalau sempat." Sebelumnya, dia sudah sering ngabari sedang sibuk ngerjakan proyek dan urusan administrasi di kuliahnya. Dia kekeh banget untuk cepat-cepat nggak ada tanggungan di kampusnya. Sedari awal aku sudah curiga bahwa dia akan keluar dari kota itu. Atau dia istilahkan dengan hijrah. Aku sudah mengkonfirmasi kecurigaanku, tetapi dia bilang akan bicara kalau semuanya udah pasti. Aku merasa dia sangat berhati-hati untuk menyampaikannya kepadaku.
Sampai pada siang hari yang sebenarnya terasa begitu lelah, aku menerima sepucuk kertas bersamaan dengan dua buku dan satu kerudung berwarna maroon. Aku lihat judul bukunya, bukan novel, bukan pula sejenis sastra lainnya. Satu berbicara soal sejarah, yang sepertinya pernah kita obrolkan pada suatu malam. Dan yang satunya lagi soal motivasi perubahan, yang aku baca sekilas narasinya hampir sama dengan karakterku. Kukira sudah bakal Rumi yang datang, tetapi Rumi tetap membersamai. Dalam sepucuk surat itu yang sempat membikin gerimis di mata dan hati. Ah, Rumi, kau telah begitu sempurna menciptakan sajak sebagai perwakilan rasanya. Aku membaca sangat berhati-hati, sebab berkali-kali Abang bilang mengagumi sosok Rumi. Sedang aku, hanya sekali menyentuh sudahlah 'tak sanggup dengan narasi sufistiknya.
Begini isi naskah yang Abang beri judul *Sepucuk Surat Tanpa Judul*
"Cintaku padanya adalah hakikat jiwaku. Hidupku adalah gelora yang selalu merindukannya. Aku hidup seperti seorang gipsi pengembara. Aku tahu pernah menetap di tempat yang sama. Namun, setiap malam aku selalu bernyanyi dan menari ditemani bintang-bintang di bawah langit yang sama. Ketahuilah, di dalam hati sang pecinta terdapat sebatang seruling yang lantunkan nada kerinduan. Yakinlah, di jalan cinta itu: Tuhan selalu bersamamu. (Jalaluddin Ar-Rumi)
Sepenggal sajak yang dikumandangi "Rumi" itu, setidaknya telah mewakili "rasa" yang tengah meronta-ronta dalam benakku. Begitulah cinta, soal rasa bukan yang lain.
Maaf!!
Aku harus jujur, sering kau tanyakan, "Setelah lulus mau kemana?" Pertanyaan ini, sungguh mudah dipahami, tapi sangat susah untuk dijawab. Sebab, menjawab pertanyaan ini, justru membawa derita dalam hubungan kelak. Begitu yang kuramalkan!
Namun, karena tuntutan keadaan, aku harus mengatakan yang sebenarnya. Dalam waktu dekat ini, mungkin aku akan hijrah ke ....... (Maaf penulis tidak bisa menyebutkan kotanya), mengadu nasib dan menggantung harapan.
Berat memang, rasa yang membuncah kini diportal tak hanya jarak tetapi juga waktu. Apa boleh buat, semua yang aku tempuh ini dan itu semata demi masa depanku. Namun, seperti kata Rumi, yakinlah di jalan Cinta itu: Tuhan selalu bersamamu!"
Malang, 22/09/2021
AS (Inisial)
Aku, tidak sekalipun menduga narasi ini akan tersuguhkan di depan mata. Aku, hanya bisa duduk terpaku untuk menerima rasa dalam setiap kata. Mataku merespon dengan gerimis. MasyaAllah, aku khawatir mendahului Allah untuk mengklaim rasa ini. Tapi, sebelumnya, aku 'tak pernah menangis dalam bahagia. Aku bahagia, sekaligus terharu. Ada rasa tidak percaya. Masih ada manusia laki-laki sedalam ini dalam mencintai. Aku, sebelumnya sudah 'tak yakin dengan isi dunia yang penuh dengan manipulasi laki-laki. Tetapi, dia tidak, sejauh ini aku merasakannya tidak demikian. Berkali-kali aku enyahkan logika yang mungkin akan merusak keyakinan. Sebab, tantangan bagi kita yang merajut rasa dengan dibentang jarak dan masa adalah kepercayaan. Aku belajar untuk memiliki itu.
Satu fakta yang aku tahu dari surat ini, selain cintanya adalah kebenarannya akan pergi. Meski selama ini kami sudah jauh, tapi kali ini akan semakin jauh. "Meski begitu, aku sendiri tidak memiliki alasan untuk berhenti memiliki rasa ini. Jadi, kenapa Abang harus takut?" Begitu pikirku usai membacanya. 'Tak lama kemudian, di hari yang sama aku membaca surat Abang, dia berkabar sudah berada di perjalanan. Awalnya aku marah, karena dia tidak bilang sedari awal tentang kepergiannya di hari itu. Harapan dia bakal datang di hari ulang tahunku harus dimusnahkan sejak sekarang. Tetapi, lambat laun amarahku hilang, sebab, mengingat kembali katanya dalam surat itu "Pertanyaan yang mudah dipahami tapi sangat sulit dijawab." Aku mencoba memahami posisi Abang. Waktu itu aku menegaskan kembali keyakinannya mengenai perkataan Rumi tentang cinta.
"Sebagaimana Rumi bilang, masihkah Abang yakin dengan jalan cinta ini?" Begitu aku ketik di kolom chat.
"InsyaAllah."
"Abang bawa pergi kemanapun, ya. Biar Tuhan yang mendekatkan kita meskipun jarak dan waktu semakin jauh. InsyaAllah, pilihan apapun yang Abang ambil. Untuk masa depan smean, aku akan selalu mendukung. Jadi tolong, percayakan aku untuk menjadi bagian perjuangan kesuksesan Abang. Jujur, hari ini hatiku banyak mengalami kejutan. Sesuatu yang bikin gerimis di mata dan hati. Aku merasakan rasa yang Abang narasikan. Yang paling penting dari sebuah hubungan adalah komunikasi, tak peduli jarak atau waktu yang membentang."
"Air mataku cukup berkaca-kaca." Begitu dia ketik di kolom chat.
Aku sama sekali tidak bermaksud mendahului ketentuan Allah. Mungkin begitu juga Abang, kami hanya berusaha jujur dengan rasa masing-masing. Apakah itu salah? Tidak, selama tidak berharap berlebih di akhir. Bagaimanapun Allah meridhoi sesuatu yang Dia perbolehkan. Jika hubungan ini tidak termasuk dalam kategori boleh, semoga Allah segera memperbolehkan. Segera dalam artian, kita sudah sama-sama puas dengan jalan sukses masing-masing.
Satu pesan yang 'tak pernah sempat kuutarakan sama Abang: "Aku yakin Anda adalah seseorang yang diharapkan Bangsa dan Agama di masa depan. Karena itu, menjadi berdosa aku jika aku meghalangi upaya Abang menunaikan tugas itu. Selamat berjuang, seseorang yang sampai sekarang masih berada di hati."
_Jika hatimu sudah meronta, maka biarkan aku juga merasakan sakitnya. Sakit akibat rasa cinta yang sama-sama kita yakini. Semoga Allah ridho._
SB, Catatan Hati
24/09/2021


0 Komentar