~Tanpa Air Tungkak Ibu~

H


ari ini, terkenang kembali satu dari sekian kebiasaan yang aku lakukan bersama almarhumah Ibu. Tulisan ini bukan untuk mengenang lalu memberatkan. Tetapi, sebagai saksi bahwa beliau senantiasa memberikan teladan yang baik untuk anak-anaknya. Senantiasa berjuang dan tirakat untuk kesuksesan kami. 

Selayaknya orang tua kebanyakan, pasti berkorban sedikit saja untuk kebahagiaan anaknya adalah bukan suatu soal. Begitu juga dengan Ibu, sejak aku mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Setiap aku mau ikhtibar, pasti mator (baca: bilang) ke beliau untuk bersedia berpuasa tiga hari. Selain itu, aku minta air basuhan tungkak beliau yang dilakukan hari Jumat ba'da sholat Subuh. Aku ingat betul, biasanya air itu beliau bungkus plastik dan seketika itu juga aku minum di depan beliau. Tirakat yang dilakukan oleh Ibu dan senantiasa disambung doa oleh seorang anak, insyaAllah efisien dan efektif. Sebab, sejauh jalan yang aku tempuh selama ini terasa mudah dilalui. 

Sepulangnya dari pesantren, aku tetap melakukan kebiasaan ini. Tetapi ditambah dengan suatu kebiasaan yang dilakukan sebelum aku domisili di pesantren, yaitu berbaring di tengah pintu kemudian dilangkahi beliau sebanyak tiga kali. Doa yang beliau panjatkan di setiap langkahnya adalah "Mander suksessah, tekah hajet, selamet (baca: Semoga sukses, qobul hajat, selamat)". Setelah itu aku bangun, mencium tangan beliau dan berangkat dengan penuh langkah mantap serta yakin. 

Namun, hari ini, semua kebiasaan itu tidak bisa kami lakukan lagi. Aku tetap meminta barokah dan ridho beliau, tetapi caranya saja yang berbeda. Seperti yang dibilang banyak orang, semua kerinduan akan laku dan dawuh Ibu bisa terobati dengan sekali wudhu, sholat lalu bacaan al-qur'an. Katanya, seorang anak pernah menjadi santri supaya bisa menghadiahkan hal ini kelak, saat harta dan raga tak lagi bisa dijumpa dan diberi kepada orang tua. 

Jauh-jauh hari, aku sudah sering cerita mengenai ujian ini kepada almarhumah Ibu disertai permintaan doa. Bahkan, beliau ikut menyisihkan uang pemberian Bapak untuk bayar pendaftaran. Aku sering salah paham kepada beliau, bahwa beliau hanya ingin aku dapat kerjaan, bisa punya uang sendiri dan segera menikah. Tetapi, senyatanya, perlakuan Ibu jauh lebih luas dari itu. Beliau, juga menghendaki anaknya ini lanjut study. Maka ketika dosen penguji bertanya, "Siapa model yang menginspirasi kamu untuk lanjut study?" Saya menjawab dengan mantap dan penuh bangga, "Orang tua saya, Ustadz."

Masih banyak sekali kisah yang bisa aku ceritakan tentang Ibu. Tetapi, akan lebih ngena kalau aku betul merasakan momennya, lalu menghadirkan sebuah rindu yang ikhlas. Maka, jika ada suatu momen yang kebetulan saya rasa, insyaAllah akan berbagi dengan teman-teman. Pesannya, jika masih mungkin untuk mengasah jimat yang kamu punya di dunia, maka jangan pernah sia-siakan kesempatan itu. 

Terima kasih dan mohon maaf, Ibu. 

Semoga Allah senantiasa menjadikan Ibu sebagai salah satu dari kekasih-Nya. Amin. 

SB, 13 Agustus 2021

Posting Komentar

0 Komentar