(Sebuah kisah yang berkali-kali mengiris hati, kemudian mengajak pikir merefleksi, sudah berbuat apakah sejauh ini?)
"Minggu sibuk, Nduk?" Begitu kuketik di kolom chat.
"Nggak, Mbak, Kenapa?"
"Ikut aku, yok!"
"Kemana?"
"Lumajang, Klakah."
"Mau ngapain, Mbak?"
"Turba, ala-ala DPR gitu. Hehehe."
"Mayak tok, Mbak Bella, rek. Wkwkwk." Kubaca chat ini sambil ketawa kepingkel-pingkel. Hatiku berbisik, emang cuma DPR doang yang bisa turba. Hahaha.
Belum ku balas, adik ini sudah menyatakan kesiapannya. "Ok, Mbak, berangkat." Ya, dari sekian banyak, memang dia salah satu orang yang nggak pernah ruwet kalau diajak keluar. Kan aku jadinya seneng, ya, ngajaknya.
Jadilah hari minggu ini kita berangkat. Perjalanan dari Kencong ke Lumajang kota memakan waktu tidak lebih dari satu jam, yang bikin lama muter-muter kota lumajang buat cari toko alat tulis. Setelah mendapat satu buah papan tulis beserta kawan-kawan yang dibutuhkan untuk mengajar, aku bersama Mila langsung tancap gas menuju Tegalrandu Klakah.
Perjalanan ini, aku niatkan sebagai amal jariyah almarhumah Ibu. Selain itu, aku ingin melihat sesuatu di luar diriku, dengan harapan hati 'tak lagi berlama-lama kosong, dan kita senantiasa menjadi manusia yang bersyukur atas nikmat yang terkadang kita rasa pahit.
Karena diselingi drama muter-muter, alhasil kami sampai di tempat tujuan tidak sesuai waktu yang diperkirakan. Yang harusnya sampai jam 10 pagi, kami jadi sampai jam 11 lebih. Keterlambatan ini membuat kami tidak bisa bertemu dengan keseluruhan malaikat-malaikat kecil Desa Tegalrandu.
Iya, tempat yang kami tuju adalah rumah salah satu Sahabat PMII yang disulap sebagai rumah bimbel gratis olehnya. Sekitar satu tahun lalu aku kesini belum ada gerakan ini. Rupanya, baru berjalan sekitar 10 bulan.
Ekspektasi atas rasa yang mungkin hadir karena pertemuan ini rupanya melesat jauh, hatiku lebih teriris dan beberapa kali bulu kuduk merinding. Bagaimana tidak? Saat mereka mengirim video motivasi untukku di kala ditinggal Ibu, rasa sayang sudah muncul begitu saja. Terlebih dari chat yang membersamai video tersebut tertera bahwa di antara mereka ada yang yatim dan ada yang piatu. Dari mereka kemudian aku juga sadar, bahwa mungkin aku lebih beruntung dari mereka. Bahwa mungkin hidup mereka lebih sulit selama ini. Rupanya, kesulitan itu tidak bisa dijangkau oleh pikiranku saat aku benar-benar melihat realitanya.
Setibanya di sana, aku masih bisa berjumpa dengan 5 orang anak. Mata teduh mereka disertai suasana pegunungan yang dingin mampu membasahi hatiku yang selama ini kosong dan kering. Seperti telah lama aku kenal mereka, lalu 'tak ada malu mereka menyambar tanganku dan bersalaman satu persatu. Sedang sahabatku berkata, "Ini Mbak Sinta Bella," setelah ritual salaman usai, kami duduk bersila dan memulai pembicaraan. Sahabatku justru ke dapur, meninggalkanku bersama anak-anak ini, memberikan ruang dan waktu untuk merasai kehidupan mereka.
Awal pembicaraan dimulai dengan perkenalan nama dan tingkatan kelas masing-masing. Satu kali aku tersentuh karena satu di antara mereka ada yang belum pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Jika kesempatan itu ada, mungkin dia sudah duduk di kelas satu sekolah menengah pertama.
"Kenapa tidak sekolah, Nak?" Dia diam, entah malu atau tidak tahu apa yang harus disampaikan. Karena teman sebelahnya merasa tahu alasannya, akhirnya dia membantu menjawab.
"Kalau bilang ke saya karena gak ada yang nganter, Bu."
"Tinggalnya sama siapa?"
"Sama Bapak dan Ibunya."
"Emang jauh ta jarak sekolahnya?" Teman laki-laki yang kelihatan paling banyak bicara menjawab.
"Kalau jalan kaki harus melewati gunung sekitar dua jam, Bu. Kalau naik sepeda sekitar 40 menit."
Waktu aku ada sempat ngobrol sama sahabatku, secara geografis lokasi tempat tinggal mereka memang diapit empat gunung di setiap pojoknya. Sehingga ada beberapa akses keluar yang mengharuskan melintasi gunung. Tetapi, kalau kata sahabatku ini, jika naik sepeda ke sekolah SD hanya ditempuh 9 menit.
"Dua jam jika jalan kaki melintasi gunung, tetapi kalau hujan tidak berani lewat sana karena licin sekali. Jadi, kita lewat jalan alternatif naik sepeda yang bisa ditempuh 9 menit. Tetapi, ada tikungan yang curam dan sering memakan korban."
Satu sudah value yang bisa aku ambil. Selanjutnya, ketika aku tanya cita-cita dari masing-masing mereka. MasyaAllah, mulia semua. Ada yang ingin jadi polwan, dokter gigi dan pilot. Lalu ketika aku tanya pada dia yang gak sekolah, dia tidak serta merta menjawab. Entah merasa minder atau apa. Tetapi aku yakini bahwa dia juga berhak memiliki cita-cita. Sehingga barulah dia menjawab. "Saya ingin jadi pengacara, Bu."
Dua kali, hatiku teriris kembali, entah darimana dia memperoleh pemikiran ingin menjadi pengacara. Anak ini, yang tidak pernah mengenyam pendidikan bangku sekolah, di negara Indonesia yang katanya merdeka, mampukah mewujudkan cita? Inilah dilema kemanusiaan yang 'tak ujung menemukan usai. Jika dianggap kondisi ini adalah hal yang mutlak sebagai wujud sistem kehidupan, brengsek sekali Tuhan yang menciptakan. Kenapa Dia menciptakan kesengsaraan? Rupanya, Tuhan hanya menjadi kambing hitam orang yang gak bertanggung jawab dan mencari aman.
Akankah kita bagian dari manusia yang seperti ini? Semoga tidak, senyatanya kalian yang dipercaya adalah harapan terakhir mereka. Jika mempunyai wewenang cobalah buat kebijakan yang berpihak, jika tidak maka buatlah gerakan yang membantu mereka. Sekecil apapun itu wujudnya.
Ketiga, hatiku teriris kembali, saat sahabatku menceritakan semangat yang dimiliki anak tiri Bangsa ini. "Saya pernah merasa tersentuh, Mbak. Dan karena itu saya yakin telah memilih jalan yang benar untuk membantu mereka belajar. Mbah dari anak ini pernah cerita bahwa beliau sangat bunga (senang) ketika mendengar anak ini membaca buku malam-malam dengan sangat nyaring. Memang saya kasih dia buku LKS bekas saya SMP dulu."
Dari bimbel yang telaten dan istiqomah dari sahabatku ini, setelah sekitar 10 bulan belajar, yang semulanya tidak bisa baca tulis jadi bisa dan menguasai. Saya melihat langsung tulisannya sangat rapi. "Terima kasih, ya, kamu sudah membantu mereka. Terima kasih kamu sudah peduli," ujarku seraya memegang tangan sahabatku, meski aku bukan bagian secara langsung dari mereka. Entah kenapa aku sangat merasa terbantu dengan hadirnya orang-orang yang peduli. Karena yang terlintas di pikiran bukan hanya soal sekarang, tetapi beberapa puluh tahun yang akan datang. Sedang pendidikan yang dimengerti dan dipahami, sejauh ini masih menjadi investasi kehidupan yang 'tak ternilai dengan nominal. Meskipun, kita tidak bisa lari dari kenyataan bahwa prestasi bukan satu-satunya yang menjadi pertimbangan untuk menempati suatu jabatan. Tidak perlu dijelaskan secara gamblang, ya, Gaes, kuharap kalian mengerti.
Ikhtiar sahabatku ini tidak berhenti pada tindakan-tindakan normatif saja, tetapi juga menyentuh hal-hal realistis yang menjadi standar negara. Misal, keharusan mempunyai dokumen negara untuk dianggap tuntas berpendidikan. Sehingga dia juga membuka akses buat anak tiri Bangsa untuk mengikuti paket A. Segala biaya yang dibutuhkan, dia sama sekali tidak membebankan kepada keluarga sang anak. Semoga Allah selalu ridho dengan gerakan dan niat baikmu, begitu dalam hati aku berdoa selama sahabat ini bercerita.
Ada juga diantara mereka yang 'tak dapat kasih sayang Bapak dan Ibu sejak lahir, sehingga harus mengarungi setiap nafas kehidupannya bersama sang kakek dan nenek. Beliau berdua, meski sudah tua, sangat sadar pentingnya pendidikan sehingga tetap menyekolahkan dan mengontrol cucunya setiap mengikuti bimbel. Tetapi untuk berangkat sekolah, kadang cucunya nebeng ke tetangga.
Saya harap, cerita ini bisa membuka pikiran kita, bahwa masih ada yang namanya dehumanisasi, masih ada yang tertindas dan masih ada yang menindas. Mereka menjadi objek penindasan bagi mereka yang memiliki kekuasaan tetapi hilang kesadaran. Atau mungkin enggan atau memang kelupaan atau pikiran dan gerakannya belum kesampaian. Bagaimanapun kondisinya, aku harap tidak cuci tangan. Tolong kunjungi mereka dan penuhi kebutuhannya.
Bagi kalian para dermawan, boleh membantu gerakan bimbel temanku ini, komentar aja di kolom bawah, entar aku email kontak temenku.
Terima kasih telah membaca kisah ini.
SB, Catatan Refleksi
17 Agustus 2021


0 Komentar