Sebagaimana buku Perempuan di Titik Nol, membaca buku ini aku penuh dengan kehati-hatian. Bedanya, kalau Perempuan di Titik Nol aku hanya di awal saja yang mengalami konflik batin dan pemikiran. Lalu, ketika sudah meniti ceritanya lembar demi lembar, aku terbawa
dan sesekali menangis tersedu-sedu. Sebab, pemikiran yang lahir dari seorang Firdaus adalah hasil dari liku perjalanan yang tidak pernah dia minta, yang tidak pernah dia pilih dan tidak pernah dia ingin, tetapi tetap menjadi jalan kehidupan yang harus dia tempuh.
Kerasnya nilai yang berkembang di lingkungannya, tentang perempuan yang diperlakukan selayaknya budak. Sehingga, berlari ke belahan dunia mana pun, Firdaus masih menemukan hal yang sama, seorang yang tak pernah menyadari esensi kemanusiaan dalam dirinya. Lalu dia lebih "Memilih menjadi pelacur yang sukses daripada istri yang diperbudak". Bagi kita yang belum membaca ceritanya, sudah pasti tidak membenarkan pemikiran ini, begitu pun pergolakan yang aku alami di awal. Berpikir berkali-kali untuk melanjutkan membaca, sebab ada ketakutan aku akan terkontaminasi pemikiran ekstrim ini. Tetapi kemudian, pikiranku memberikan pesan "Ayolah, kamu harus cari tahu sebabnya." Karena itu, aku tetap melanjutkan membaca sampai akhir. Dan dari cerita Firdaus, aku menemukan sisi lain dari manusia, mengenai nilai yang jika tidak bisa dilihat dari sisi ajaran agama maka cobalah untuk melihat dari sisi kemanusiaan.
Cara ini untuk menghindari kita menjadi hakim dan Tuhan atas kehidupan orang lain. Karena yang paling mereka butuhkan ketika berada di titik terbawah adalah support. Firdaus, coba saja dia tidak lahir di lingkungan yang keras, dari seorang Ibu yang menjadi budak suami, menjadi ponakan dari seorang paman yang mencabulinya sejak kecil padahal dia laki-laki berpendidikan, tidak terdampar di jalanan yang menyebabkan dia bertemu dengan seorang germo bertopeng penjual nasi, tidak bertemu dengan seorang yang dicintainya tapi senyatanya laki-laki itu hanya membual untuk mencicipi dagingnya. Aku, pada akhirnya, memaklumi jalan hidup yang ditempuh Firdaus.
Inilah yang menjadi beda antara kisah Firdaus dengan Nidah Kirani. Membaca Kisah Kiran dalam buku "Tuhan, Izinkan aku Menjadi Pelacur. Memoar Luka Seorang Muslimah", aku mengalami konflik pemikiran hingga akhir. Pasalnya, Jika Firdaus terpaksa maka Kiran memilih, dia memilih untuk berada di jalan yang kelam itu. Yang paling bikin aku jengkel adalah dia mengkambing hitamkan Tuhan atas pilihan hidupnya, apa yang dia katakan tidak pernah masuk akal dalam pikiranku.
Di awal, dia memilih menjadi muslimah yang taat. Menjalankan kewajiban dan sunnah, tapi dalam setiap ibadah yang dilakukan, dia selalu membandingkannya dengan orang lain dan tak segan mencibir orang atau golongan tertentu karena menganggap ibadah yang mereka lakukan tidak sesempurna dia, meski itu hanya terlontar di dalam hati. Yang jelas, dia melakukan ibadah dengan penuh kesombongan. Selain itu, dia mengharapkan balasan atas ibadah yang dilakukan, balasan berupa kemuliaan di sisi Tuhan. Bukankah tanpa berharap hal itu pasti didapat jika kita ikhlas dalam menjalankannya? Terlebih lagi, pilihannya untuk masuk organisasi keagamaan dengan visi mewujudkan negara Islam di Indonesia adalah puncak dari perjalanannya menuju kehancuran, dunia yang kelam. Dia terlalu banyak berharap di organisasi itu, terlalu banyak mengeluarkan duit yang katanya untuk jalan dakwah. Senyatanya, dia selalu mengalami kekecewaan karena yang dia dapat selalu tidak sesuai ekspektasi.
Pada saat waktu yang mulai pekat dalam hidupnya, Kiran mencoba mencicipi kehidupan kelam sebelum akhirnya dia mengalami kecanduan. Di titik ini, dia selalu menentang Tuhan, seberapa besar Tuhan mempunyai hak atas hidupnya, sehingga yang dia lakukan selalu menentang ajaran Tuhan. Karena dia telah merasa begitu dikecewakan oleh Tuhan. Dia menjadi perempuan jalang, awalnya, dia biarkan laki-laki manapun yang dekat dengannya untuk mencicipi tubuhnya. Menggaulinya setiap malam, tetapi semua menjadi bertarif saat dia bertemu dengan seorang dosen, sekaligus pejabat kampus, sekaligus seorang wakil rakyat. Laki-laki yang memiliki kuasa ini memberikan akses kepada Kiran untuk menghargai dirinya dengan tarif yang mahal, kalau katanya si germo ini "Pelacur Kelas Eksekutif".
Aku memang berkali-kali tidak sepakat dengan pemikiran Kiran yang timbul sebab kesalahannya sendiri, bagiku Firdaus lebih manusiawi dan mempunyai harga diri, bahkan di hadapan Tuhan. Aku juga terkadang menyalahkan penulis karena bahasa yang digunakan terlalu radikal, yang menjadi ketakutanku, khawatir buku ini dibaca oleh orang-orang yang belum bisa memfilternya. Namun, di sini lain, aku berkali-kali berucap terima kasih kepada Sahabat Muhidin M. Dahlan, karena beliau telah berani mengungkap sisi lain dari kehidupan. Mengenai kebejatan seorang yang memiliki kuasa, seorang yang oleh masyarakat dianggap 'alim. Pasalnya, yang menjadi penikmat tubuh Kiran, tidak hanya berasal dari kalangan mahasiswa pada umumnya, tetapi juga seorang 'alim, mereka yang mengerti ilmu agama.
Dari sisi ini seakan menegaskan kepada kita untuk tidak melihat seseorang dari covernya saja, bahkan dalam duniaku, aku juga pernah menjumpai apa yang dialami Kiran. Dia yang diagung-agungkan oleh manusia, senyatanya dia juga seorang munafik yang juga tak bisa mundur jika mencium bau tubuh perempuan.
Aku menceritakan kembali kisah perempuan dalam buku fiksi ini adalah karena ini kisah nyata, cerita yang ditulis setelah melakukan wawancara mendalam kepada si korban, Firdaus dan Nidah Kirani. Buku ini sangat recomended untuk menjadikan kita lebih open minded terhadap jalan hidup seorang perempuan yang bahkan tidak dibenarkan, kita akan berhenti menjadi orang yang hanya bertanya "who?" atau "what?" tapi juga akan berusaha untuk sampai pada jawaban atas pertanyaan "why?". Disinilah letak kebijaksanaan seorang manusia, ketika dia tidak hanya mengetahui akibat lalu menghakimi tapi juga berusaha untuk mencari tahu sebabnya.
Tulisan ini, juga untuk menjadi referensi teman-teman, apakah kalian harus menghabiskan buku ini atau tidak. Terima kasih, ini adalah perbandingan versiku setelah membaca keduanya. Semoga tulisan receh ini bermanfaat, pastinya ada value yang aku selipkan dalam tulisan ini. Semoga kalian juga bisa menemukan itu.
SB, 3 Agustus 2021
~Dari Balik Tabir Puan~

2 Komentar
Sangat menginspirasi sekali
BalasHapusSemoga bermanfaat
Hapus