Alhamdulillah ‘ala kulli ni’matillah laa haula wa laa quwwata illa billah.
Aku percaya sampai detik ini Allah adalah Tuhan yang maha adil.
Dalam membaca konteks keadilan tersebut, aku selalu teringat ayat yang
memerintahkan hal yang sama kepada manusia di muka bumi (laki-laki dan
perempuan), yaitu supaya mereka menjadi ‘abdun yang taat dan kholifah
di muka bumi. Sedangkan pembeda antara keduanya hanyalah ketakwaan, siapa yang
bertakwa maka dialah yang mulia, dan nilai itu hanya Allah yang bisa dan berhak
mengukurnya. Maka ketika aku mendapat tema ini untuk didiskusikan dengan para
Ning IMABU (Ikatan Mahasiswa Bustanul Ulum) Mlokorejo, aku kembalikan lagi pada
keyakinan tersebut. Maksudnya gimana, Mbak? Begini, ketika aku diminta menjadi
pemateri yang hanya dihadirkan tema tanpa indikator materi. Maka tugasku
sebelum membuat materi dan menyampaikannya adalah refleksi. Sebetulnya apa yang
ingin teman-teman bahas, ketahui dan simpulkan.
Pada dasarnya, di setiap diskusi yang kita lakukan ‘tak patut untuk
hadir dengan tanpa kecondongan. Artinya, sebelum diskusi kita sudah menuntukan
hipotesa. Kira-kira seperti apa? Dan kesimpulan seperti apa yang kita
kehendaki. Sehingga ketika menemukan perbedaan, maka di sana akan terjadi
dialektika yang kemudian menghadirkan kesimpulan ilmiah. Jika tema di atas
berupa sebuah pernyataan maka itulah kesimpulan yang diinginkan, dan aku sama
sekali tidak bisa menyepakati hal tersebut, seperti aku bilang di atas
laki-laki dan perempuan memiliki tugas dan reward yang sama. Tetapi,
jika tema di atas merupakan sebuah pertanyaan, maka kita akan sama-sama mencari
jawaban.
Kenapa aku tidak menyepakati jika perempuan dikatakan sebagai
pemilik beban ganda? Seperti apa beban ganda itu? Apakah bisa melakukan beban
ganda adalah sebuah kebanggaan? Bagaimana interpretasi teks dan realitas
terhadap isu-isu gender?
Inilah tanya yang harus kita jawab dan inilah indikator materi yang
aku tetapkan. Pertanyaan pertama, pembahasan ini ada kaitannya dengan konsep
seks dan gender. Namun, aku tidak akan membahas itu di sini, karena sudah
banyak tulisanku yang membahas hal tersebut. Nanti aku akan sampaikan by lisan
saja. Keadilan gender yang tidak tercapai akan melahirkan diskriminasi berbasis
gender. Nah, beban ganda adalah salah satu dari bentuk diskriminasi berbasis
gender, selain kelima hal yang disebut Kalis Mardiasih. Karena itu, tidak benar
jika perempuan dilebeli sebagai pemilik beban ganda, meski senyatanya realitas
budaya masyarakat kita seperti itu. Tetapi, lebel tetap tidak boleh dibicarakan
apalagi disandangkan, sehingga ketika perempuan tidak melakukan beban ganda
tersebut maka cenderung disalahkan dan distigma sebagai perempuan yang tidak
baik. Lagi pula, berbicara gender adalah sesuatu yang kaitannya tidak hanya dengan
perempuan, lain waktu bisa saja beban ganda tersebut menimpa laki-laki.
Pertanyaan kedua,
seperti apa beban ganda itu? Menurut Kalis, beban ganda adalah pekerjaan yang
diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak daripada jenis kelamin tertentu.
Dalam bukunya, Kalis membagi dua, beban reproduktif dan produktif. Tetapi, di
sini aku akan mencoba menjabarkan. Aku berpandangan bahwa beban reproduktif
yang dimaksud adalah yang kaitannya dengan seks atau bilogis, sesuatu yang
menjadi kodrat laki-laki atau perempuan dan tidak bisa ditukar perankan. Namun,
ternyata narasi yang disampaikan oleh Koalisi Perempuan membantah anggapan
tersebut. Peran reproduktif tidak hanya berkutat pada urusan biologis, tetapi
juga pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang meliputi memasak, belanja,
membereskan rumah dan memelihara kesehatan keluarga. Beban produktif, memiliki
ruang lingkup peran berupa publik, sedangkan beban reproduktif ruang lingkup
perannya adalah domestik. Sehingga kita terbiasa menyebut beban ganda sebagai
wujud dari kemampuan seseorang dalam melakukan peran publik dan peran domestik.
Karena kedua peran di atas tidak ada kaitannya dengan konteks
biologis, maka beban ini bisa ditukar perankan. Tetapi, senyatanya masyarakat
kita hanya membebankan peran domestik kepada perempuan, sehingga ‘tak jarang
aku mendengar pendapat begini, padahal dia ketua, lo, tapi kok bajunya lusuh
kayak gak disetrika, pasti istrinya gak ngurus dia dengan baik. Atau, padahal
dia punya anak perempuan, tapi rumahnya selalu kotor. Maa Syaa Allah,
kadang aku geleng-geleng kepala kalau udah denger yang begituan, apalagi
dilontarkan oleh sesama perempuan. Artinya, jika ada pekerjaan domestiknya
tidak berjalan dengan baik, maka perempuan di rumah itu yang disalahkan.
Hal ini yang perlu kita geser secara perlahan, sehingga tidak ada
tuntutan ketika perempuan lelah pulang kerja (melakukan peran publik) masih
harus ngurus rumah, tetapi si lelaki malah hengkang-hengkang setelah pulang
kerja. Dalam konteks ini, Islam menuntut laki-laki dan perempuan untuk saling
kerjasama, Mu’asyarah Bi Al-Ma’ruf atau saling berbuat baik (Qs.
an-Nisaa’) dan memproses kesepakatan bersama dengan berbagi pendapat (musyawarah)
dan saling merelakan (taraadhim) (Qs. Al-Baqarah).
Pertanyaan ketiga,
apakah bisa melakukan beban ganda adalah sebuah kebanggan? Iya, jika itu semua
dilakukan dengan kemerdekaan dan bukan tuntutan. Dilakukan dengan suka cita,
maka tidak akan ada yang terdiskriminasi. Lalu kemudian lahir lebel yang
membanggakan bagi perempuan sebagai makhluk multitasking (bisa melakukan
banyak hal). Tetapi menjadi sebuah ancaman dan ketidaknyamanan jika dia melakukan
beban ganda tersebut dengan keterpaksaan, sehingga tidak bisa mengapresiasi
dirinya sendiri atas kemampuan tersebut. Maka inilah alasan kenapa kita patut
berhati-hati dalam mengklaim sebuah peran menjadi satu-satunya tanggung jawab
salah satu gender.
Pertanyaan keempat,
Bagaimana interpretasi teks dan realitas terhadap isu-isu gender? Jika kita
ingin membaca pandangan Islam terhadap realitas sosial yang terus berkembang,
maka menggunakan hukum fiqih adalah jalannya. Karena banyak disebutkan bahwa
fiqih adalah hukum yang dinamis. Pembahasanku kali ini akan banyak mengutip
dari buku Kyai Faqihuddin Abdul Qadir (Qiro’ah Mubadalah). Menurut beliau,
Fiqih merupakan hasil intensitas interaksi antara teks-teks rujukan sebagai
sumber pertama dan realitas-realitas sosial sebagai sumber kedua. Artinya,
dalam menetapkan hukum ulama fiqih menggunakan landasan al-qur’an dan hadits,
tetapi tidak melupakan realitas yang ada dalam lingkungan tersebut sebagai
sumber kedua. Dalam hal ini, kemudian fiqih dibedakan menjadi dua, yaitu fiqih
klasik dan fiqih kontemporer. Banyak pandangan ulama fiqih klasik yang sudah
lagi tidak relevan dengan realitas hari ini, contohnya pandangan mayoritas
ulama yang dikutip oleh Abdurrahman al-Jaziri mengenai pernikahan, “Akad yang
ditetapkan syariat agar laki-laki dapat mengambil manfaat dengan menikmati
secara halal kelamin perempuan dan seluruh tubuhnya.” Kyai Faqihuddin
berkomentar bahwa definisi ini tentu saja merefleksikan budaya masa lalu yang
menjadikan laki-laki sebagai subjek dari pernikahan, sementara perempuan hanya
menjadi objek semata. Sebenarnya pendapat ulama klasik tersebut bertentangan
dengan firman Allah yang artinya “Istri pakaian bagi suami dan suami pakaian bagi
istri” (QS. Al-Baqarah). Ungkapan tersebut bahkan tidak muncul dalam definisi
pernikahan ulama fiqih klasik di atas, ini menandakan bahwa betapa kuat
realitas masa lalu terhadap kesadaran para ulama tersebut dalam memformulasikan
definisi pernikahan. Sebenarnya, fiqih klasik tidak bisa dikatakan sepenuhnya
terlepas dari realitas. Karena sejatinya, ia merupakan potret interaksi
teks-teks agama dengan realitas yang berkembang pada masa kemunculannya.
Masalahnya, masih banyak yang beranggapan bahwa fiqih klasik tersebut adalah
hukum yang final. Karena masalah ini kemudian fiqih kontemporer hadir sebagai
keniscayaan.
Aku akan mengutip langsung pendapat Kyai Faqihuddin mengenai fiqih
kontemporer dalam bukunya yang berjudul Qira’ah Mubadalah (h. 141).
Interpretasi baru fiqih kontemporer yang lebih adil dan
membahagiakan menjadi niscaya, untuk memenuhi tuntutan realitas yang sudah
kompleks tidak sebagaimana gambaran kitab-kitab fiqih klasik tersebut. Saat
ini, banyak sekali perempuan yang bertanggung jawab terhadap keluarga,
perempuan yang bekerja dan menempati jabatan publik, di samping pertukaran
peran domestik akibat tuntutan sosial-ekonomi masyarakat urban.
Aku menilai bahwa pendapat Kyai Faqihuddin di atas berusaha untuk
menggeser stigma marginalisasi dan subordinasi terhadap perempuan yang disebabkan
teks-teks pada fiqih klasik. Sebab, pada zaman sekarang, masih ada orang yang
menggunakan dalih tersebut untuk menahan peran perempuan. Lalu bagaimana dengan
beban ganda? Apakah Islam berbicara itu? Di Indonesia, ada fiqih kontemporer
yang disebut sebagai fiqih Indonesia. Salah satu redaksi hukum yang bisa aku
kutip adalah Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa (Pasal 1, UU
No.1/1974).
Dalam redaksi tersebut menyebutkan pria dan wanita, suami dan
istri, maka membentuk keluarga yang bahagia adalah tugas keduanya. Entah itu
sesuatu yang bisa diupayakan dengan bekerjasama atau berkolaborasi dalam
melakukan peran domestik dan publik. Atau mungkin dengan adanya diskusi
pembagian antar keduanya, sehingga semua bisa berjalan dengan asas kerelaan dan
kemanusiaan. Dari sini kita tahu bahwa membentuk keluarga bahagia tidak hanya
dibebankan kepada laki-laki atau perempuan. Jadi, jika kemudian konsep beban
ganda masih ingin terus dinarasikan, maka subjek dari konsep tersebut adalah
laki-laki dan perempuan. Tidak lantas dibebankan kepada salah satu gender. Tetapi,
jika tidak mampu menjaga keadilan dari eksistensi konsep tersebut, maka
menyudahi narasi adalah solusi.
Alhamdulillah, akhirnya selesai pembahasan. Semoga menjadi diskusi
yang bermanfaat. Alhamdulillah ‘ala kulli ni’matillah laa haula wa laa
quwwata illa billah.
Sinta Bella
0 Komentar