KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM ORGANISASI



Tema seperti ini bukan pertama kalinya aku bahas di sebuah forum diskusi, itu artinya bukan pertama kalinya pula aku mendengarnya. Tetapi, entah mengapa saat aku dihubungi pengurus Bidang Pemberdayaan Perempuan PMII Komsariat INAIFAS untuk menjadi pemantik dengan tema ini, aku merasa ada yang aneh. Suatu waktu pikiranku bertanya, kenapa kepemimpinan perempuan perlu didiskusikan? Kenapa aku tidak pernah mendengar diskusi dengan tema kepemimpinan laki-laki? Sebegitu menarikkan segala hal tentang perempuan? Untuk apa diskusi ini dilakukan, untuk mengetahui value perempuan agar layak dikatakan sebagai pemimpin atau untuk membicarakan tentang keburukan perempuan dalam memimpin? Bagaimanapun juga, konsep kepemimpinan tidak hanya berbicara perempuan, tetapi juga laki-laki, bisakah suatu saat kita mengkaji tentang kepemimpinan laki-laki? Ah, pasti masyarakat kita bakal aneh mendengar pembahasan ini. Lalu aku berpikir, seakan kepemimpinan ini berjenis kelamin. Hahaha, jadi ingat waktu aku dengan bodohnya bertanya kepada mahasiswa sastra UNEJ. “Mas, apakah ada sasatra perempuan? Dia menjawab dengan senyum menyungging di bibirnya. “Sastra tidak berjenis kelamin, Dik.” Aku dibuat malu seketika, jika kalian sepakat bahwa kepemimpinan tidak berjenis kelamin, tugas pemimpin diamanahkan kepada semua manusia, biarlah ini menjadi pembahasan kita yang terakhir, ya. Selanjutnya, kita kaji dan baca konsep kepemimpinan secara umum, yang tidak berjenis kelamin.

Baik sahabat-sahabatku, sebelum kita mengarah pada analisis perempuan dalam konteks sosial dan biologis untuk mengetahui layak atau tidaknya perempuan untuk menjadi pemimpin, dan bagaimana dalil yang membicarakan hal itu, mari kita beberkan dulu pengertian tema ini secara substansial. Kepemimpinan Perempuan dalam Organisasi, ada tiga kata yang perlu kita definisikan lalu menjadi satu pengertian yang utuh, kepemimpinan, perempuan dan organisasi. Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Perempuan, mengatakan bahwa kepemimpinan antara lain diartikan sebagai kemampuan mempengaruhi pihak lain agar ia mengarah secara sadar dan sukarela ke tujuan yang ingin dicapai. Dari pengertian ini, kita bisa mengetahui bahwa kepemimpinan tidak selalu identik dengan jabatan tertinggi sehingga disebut sebagai pemimpin. Namun, lebih pada seni untuk mempengaruhi orang lain. Terkadang, orang yang baru kita kenal, tetapi kita bisa mengamini apa yang dia bicarakan lalu diwujudkan dalam tindakan, maka orang tersebut memiliki keterampilan kepemimpinan.

Lalu Perempuan, aku ingat betul dalam sebuah diskursus yang melibatkan Ning Khilma Anis (penulis novel Hati Suhita) lalu lain waktu dengan ketua pertama komisariat INAIFAS, sahabat Hanifah, mereka menyampaikan soal konsep perempuan yang sama. Menurut mereka, perempuan berasal dari kata empu yang memiliki arti tuan, dia memiliki otoritas penuh atas dirinya sendiri. Berbeda dengan wanita (wani ditata atau wani tapa), lebih memilih menahan diri atas segala keinginan dan hasratnya, sebab mempertimbangkan nilai lingkungan atau orang lain.

Organisasi, konsep ini sering dibicarakan, bahkan menjadi syarat pemahaman untuk jenjang kaderisasi. Sebab, inilah perahu kita untuk mencapai tujuan, kita harus tahu bagaimana strukturalnya, visi dan misinya, dan segala tetek bengek yang ada di dalamnya. Maka mari aku ingatkan, bahwa yang dimaksud organisasi adalah sebuah perkumpulan manusia yang berstruktur dan memiliki visi yang sama.

Setelah kita mengetahui tiga konsep kata tersebut, maka kita bisa mengetahui bahwa arah dari diskusi ini untuk mencapai pemahaman tentang kemampuan seorang tuan (orang yang memiliki otoritas penuh terhadap dirinya) dalam mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan organisasi. Dari sini kemudian kita bisa tahu, bahwa akhirnya tema ini tidak ada konsep pembahasan yang mengkhusukan kepada perempuan. Sebab, dari pengertian yang kita peroleh di akhir, sama sekali tidak ada narasi perempuan. Tetapi, aku akan mencoba memuaskan kalian dengan tetap membahas perempuannya, kenapa kemudian kepemimpinan perempuan menjadi menarik untuk tetap dibahas. Satu dari lain hal, karena masyarakat kita masih ada yang tabu dengan narasi ini. Buktinya, pembahasan ini masih eksis sampai sekarang. Aku beranggapan bahwa narasi ini kita bahas hari ini, untuk menggaungkan dan speak up atas kepemimpinan perempuan yang juga layak sebagai manusia.

Sebelum itu, pada dasarnya keterampilan kepemimpinan dibagi menjadi tiga (Davis, 1981:127) dikutip oleh Engkoswara dan Aan Komariah dalam buku yang berjudul Administrasi Pendidikan, yaitu:

1.      Technical skills, memiliki kemampuan sesuai dengan bidang yang digelutinya.

2.      Human skills, kemampuan dalam membangun relasi dan dapat bekerja sama dengan orang lain baik dalam situasi formal maupun informal.

3.      Conceptual skills, mampu memberikan solusi terhadap suatu persoalan.

Ketiga keterampilan di atas, tidak mutlak dimiliki oleh laki-laki atau perempuan, keduanya bisa memiliki keterampilan tersebut jika diasah atau mau berproses.

Terlebih lagi, dari dua buku yang saat ini ada di tanganku, dawuh dari Quraish Shihab dan Kyai Faqihuddin Abdul Qadir (Qiro’ah Mubadalah), sama sekali tidak ada yang menegaskan bahwa tugas memimpin atau menjadi kholifah di bumi ini, untuk mengajak manusia yang lain menuju kebaikan, bukanlah hanya sekedar tugas laki-laki, tetapi manusia secara umum. Sejak perjanjian primordial yang melibatkan adam dan hawa kemudian menyebabkan mereka diturunkan ke bumi, sejak saat itu mereka menanggung tugas yang sama, memperbaiki diri dan menjadi kholifah di bumi.

وَهُوَ الذى جَعَلَكُم خَلئِف الاًرضِ

“Dan Dia-lah yang menjadikan kamu sebagai kholifah-kholifah di bumi,” (QS. Al-An’aam: 156).

Kyai Faqihuddin mengatakan bahwa dalam memaknai kata kum di ayat tersebut, para ulama tafsir tidak mengkhususkan kepada laki-laki dan menafikan perempuan. Sehingga, setidaknya, dengan kaidah taghlib dalam ushul fiqh, seharusnya ayat-ayat tersebut juga mencakup jenis kelamin perempuan. Lebih lanjut, dari berbagai ayat yang menjadi rujukannya, Kyai Faqihuddin menegaskan, “Laki-laki dan perempuan adalah manusia utuh, hadir di muka bumi untuk saling melengkapi, saling tolong menolong, dan kerja sama demi menghadirkan kebaikan dan menghilangkan keburukan. Sebab, visi Al-Quran adalah kerahmatan untuk semesta alam (rahmatan lil ‘alamin).”

Sudah, ya, konsep Islam dalam mnegakui kemanusiaan perempuan sangat jelas dan gamblang. Jika pun ada tafsir yang kemudian tetap mendeskriditkan perempuan, maka kita perlu tahu bagaimana latar belakang mufassirnya dan kejadian seperti apa yang mendorong hadirnya tafsir tersebut. Lalu kenapa, Mbak, perempuan ketika ingin berperan masih saja kesulitan? masih ada yang hendak diragukan pemikirannya karena pengaruh lingkungan. Eh, lu, perempuan, gak usah, deh jadi pemimpin, gak usah kuliah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya, lu di dapur juga. Atau narasi, perempuan itu baperan, gak bisa jadi pemimpin. Atau, perempuan itu sudah memiliki beban biologis yang berat, jadi gak usah, deh, nambah-nambah pekerjaan di luar rumah.

Oke, narasi itu eksis karena perempuan dalam lingkup sosial masih mengalami yang namanya diskriminasi berbasis gender, menurut Kalis Mardiasih dikelompokkan menjadi lima, marginalisasi, subordinasi, stigmatisasi, kekerasan dan beban ganda. Sejak lahir sudah ditanam dalam pikirannya, perempuan yang baik itu bisa masak, ngurus rumah, ngurus suami, lalu menghasilkan keputusan tidak usah sekolah tinggi-tinggi, karena apa yang sudah menjadi tugasnya sudah diajari sejak kecil oleh Ibunya (subordinasi). Bella gak usah lanjut sekolah, ya, biar masnya aja, soalnya nanti dia bakal menjadi suami yang harus menghidupi istri (marginalisasi).

Ketika perempuan secara lahir, batin dan pemikiran sudah terbebas dari diskriminasi berbasis gender tersebut, maka dia berpotensi memiliki peran, mempengaruhi orang dan kemudian menjadi pemimpin. Terkadang, ciri biologis perempuan dijadikan alasan untuk mencegah perempuan berperan. Kalau jadi pemimpin, lalu punya bayi dan minta disusui, ya, masak mau disusui di ruang meeting. Ya, lu, yang berpikiran gitu ngopinya kurang, Gaes. haha. Terus ada lagi, perempuan kalau lagi haid itu suka bad mood, marah-marah gak jelas, bagaimana kalau mood gak baiknya di bawa ke organisasi?

Sekarang gini, deh, Gaes, aku bilangin, ya, ke kalian para perempuan, untuk menantang pernyataan itu, maka sejak sebelum kalian memilih menjadi orang yang berpengaruh, maka kalian harus selesai dengan dirinya sendiri. Bagi kalian para tuan, lu udah ngerti perempuan memiliki ciri biologis begitu, ya kasih solusi dong, jangan lu jadikan senjata buat membunuhnya. Kasihlah, dalam ruang-ruang umum itu tempat khusus ibu menyusui, sediakan toilet yang ramah peremuan, atau berikan dia waktu untuk memuntahkan bad moodnya. Kalian itu saling mendukung, lo. Bisa saja situasi bad mood dialami laki-laki meski dia gak menstruasi, nah, maka perempuan juga bisa membantu dia keluar dari kondisi itu. Harmonis, kan, jadinya.

Lalu, bagaimana tentang perempuan yang mendahulukan perasaannya dalam mengambil keputusan, perasaan lebih banyak berperan dalam mengambil kebijakan? Gaes, bahkan Quraish Shihab mengatakan bahwa perasaan tersebut salah satu senjata yang dimiliki perempuan, selain nalar yang masih harus dia perjuangkan dengan terus belajar. Menurutnya, dalam mempengaruhi orang lain, perempuan bisa menggunakan senjata rasa yang mengadirkan perkataan lemah lembut dan menyentuh kalbu. Lalu kedua, didukung nalar yang logis dalam menyampaikan argumentasi, membuat dia, bahkan lelaki kalah telak.

Lain waktu, Mbak Hanifah mengatakan bahwa ketika perempuan menggunakan perasaan, maka dia cenderung mempertimbangkan banyak hal, saat itu membutuhkan waktu yang lama, tetapi akan lahir sebuah keputusan yang bijak. Kalau aku boleh kasih rekomendasi, mari kita intip seni kepemimpinan Ibu kita, Ibu Risma. Yang sering kita jumpai amarahnya yang meletup-letup, juga kadang menangis di depan bawahannya. Tapi apa yang terjadi? Kalau kata Gus Rektor (buku Kyai Kantong Bolong) “Bu Risma membuat kota Surabaya lebih manusiawi.”

Secara pribadi, aku juga pernah menggunakan pola ini, menggunakan perasaan dalam mengambil keputusan atau berbicara. Aku akan marah jika diperlukan dan akan menangis jika ada yang meluluhkan hati. Mereka yang pernah bicara denganku atau menjadi sasaran dari amarahku, tidak segan mengatakan “Mbak Bella kalau bicara sampai ke hati.” Ya, karena saat itu aku tidak sekedar menggunakan logika. Dalam teknik lobying, jika kawan bicaraku laki-laki, maka seringkali mereka tidak bisa menolak. Entah karena kasihan dengan rengekanku atau memang merasa perlu membantu, yang jelas tujuanku tercapai. Jadi, perempuan, jangan sekalipun minder dengan statment bahwa perasaan perempuan melemahkan kepemimpinan. Justru lain waktu, dia bisa menjadi senjatamu.

Intinya sahabatku, semua itu tergantung dari sisi mana kita melihat dan kadar yang kita berikan, entah itu perasaan atau nalar, semua harus berimbang, digunakan dalam waktu yang tepat dan dengan kadar yang wajar.

Cukup sekian ulasan dariku, semoga dari sini kalian semakin percaya diri untuk menjadi orang yang berpengaruh, paling tidak di lingkungan terkecil kalian, keluarga misalnya. Sedang dalam sebuah organisasi, ketika kalian merasa yakin memiliki kualitas, kapasitas dan kapabilitas maka majulah di barisan terdepan, meski bukan jabatan, setidaknya dalam pemikiran.


SB, Dari Balik Tabir Puan

29 Juni 2021

 

 

 

Posting Komentar

6 Komentar

  1. Ada banyak ilmu yang bisa diambil dari cerita ini, semoga sukses kakak . Terus semangat ya

    BalasHapus
  2. Mesti suka dengan tulisan mbk Bella tentang perempuan ini. Semangat kak😍

    BalasHapus