Ini bukan tentang kisah perempuan yang mahir menarik pelatuk pistol, bukan pula perempuan yang pandai menarik anak panah dari busurnya dan bukan pula perempuan yang sekedar pandai seni bela diri atau perempuan yang lihai memainkan pedangnya dengan menunggang kuda. Ini adalah kisah perempuan yang gagah melawan dirinya sendiri. Menahan beberapa keinginan karena abdi kepada orang tua dan Bangsa. Kisah perempuan ini belum banyak diangkat, tapi bagiku dia salah satu perempuan bermartabat di masa lalu. Jika kita sejak lama mendengar kisahnya, sudah pasti kita berkali-kali berkata rindu, 'tak ubahnya Kartini, 'tak ubahnya Marsinah, 'tak ubahnya Rahmah El Yunusiah, dia pula memiliki hati yang keras untuk perjuangan Bangsa. Sehingga meski beberapa kali terpojokkan oleh dirinya sendiri, dia tetap berdamai dengan keadaan.
Lalu kenapa, Kak? Keistimewaan Rukmini tidak booming sebagaimana mereka bertiga yang kamu sebutkan di atas? Kisah Rukmini berada di balik Letkol Sroedji, Rukmini tidak melawan di luar dirinya tapi melawan dirinya sendiri, meski begitu kontribusinya dalam mengawal perjuangan Sroedji juga tidak main-main. Untuk memberikan apresiasi kepada Rukmini, aku ingin mengulang kisahnya. Dalam sekali duduk bisa kalian baca. Kisah ini, aku kutip dari buku Irma Devita yang berjudul "Sang Patriot". Kisah Rukmini tertulis secara sempurna di sini, membersamai perjuangan Letkol Sroedji.
Berawal dari kepandaian yang dimililiki oleh Rukmini. Sewaktu mengenyam pendidikan di HIS (Hollands Indische School), dia masuk kelas khusus anak-anak keturunan Belanda, tidak banyak keturunan Pribumi yang bernasib sama. Meski begitu, kepandaian yang dimiliki Rukmini tidak membuat Tajib (Bapak Rukmini) membanggakannya. Bagi Tajib, sudah sepatutnya Rukmini memiliki kepandaian itu, karena dia anak dari seorang guru OSVIA yang mendapat gelar Nitisasmito (Pembawa ilmu pengetahuan atau pencerah). Selanjutnya, karena kebermanfaatan yang diberikan oleh Tajib kepada Belanda, maka dia mendapat gelar kebangsawanan Madura berupa sebutan 'Mas'.
Rukmini selalu berusaha dan berharap mendapat apresiasi dari Mas Tajib. Harapan itu baru terwujud saat Rukmini lulus dari HIS dengan nilai tertinggi. Itu pun hanya senyuman kecil yang dia terima dari sosok Bapak yang selama ini sangat diidolakannya. Setelah lulus dari HIS, Rukmini tertarik masuk MULO atau AMS. Untuk selanjutnya dia berharap bisa mewujudkan cita-citanya Sekolah Hukum di Universitas Leiden di Belanda.
Pada posisi ini, Rukmini mulai belajar melawan dirinya sendiri demi wujud abdi. Dia menggantungkan keinginannya demi menuruti keinginan Mas Tajib agar dia melanjutkan pendidikan di sekolah keputrian Van De Venter. Dari sekolah tersebut Mas Tajib hanya berharap putri sulungnya mendapat bekal untuk menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga yang baik. Menurutnya, perempuan yang terlalu pintar akan sangat menakutkan bagi suaminya. Dia mengkhawatirkan masa depan anaknya. Banyak perempuan seumuran Rukmini sudah mendapatkan jodoh, karena itu sudah waktunya Rukmini menjalani pingitan.
Setelah dua tahun berada di Sekolah Keputrian Solo, Mas Tajib memindahkan Rukmini ke Sekolah Keputrian di Malang. Dari sinilah, awal kisah pertemuan Rukmini dengan Sroedji.
Waktu itu, pada suatu siang. Rukmini sedang belanja di pasar Malang, dia merasa ada seorang laki-laki yang mengamatinya dari kejauhan. Laki-laki itu tertangkap basah oleh Rukmini dan menjadi salah tingkah. Moment itu sebenarnya sengaja diciptakan agar Sroedji bisa melihat calon istrinya. Berawal dari tidak nyaman menjadi terbayang-bayang. Sejak saat itu, Rukmini tidak berhenti memikirkan Sroedji. Dia tidak mengetahui rencana perjodohan tersebut. Sehingga sewaktu Mas Tajib mengatakan bahwa ada yang melamar Rukmini, dia dengan tegas mengatakan tidak siap. Terlepas hatinya telah dicuri oleh pemuda di pasar itu, rupanya masih ada keinginan Rukmini untuk bisa melanjutkan cita-citanya, belajar hukum di Leiden. Sebenarnya Mas Tajib juga menginginkan anaknya menjadi orang hebat, tetapi keinginan tersebut terbantahkan oleh kenyataan bahwa Rukmini seorang perempuan.
Rukmini tetap mengikuti kehendak Bapaknya dengan syarat dia tetap bisa melanjutkan sekolahnya sampai meraih gelar Meester in de Rechten, hal ini juga disetujui oleh calon suami. Jadilah tanggal 28 September 1939 sebagai hari di mana dia mengucapkan janji sehidup semati dengan Sroedji. Betapa Rukmini menjadi berbunga-bunga ketika menjumpai bahwa lelaki yang menunggunya di pelaminan adalah pemuda di pasar itu. Laki-laki yang telah diam-diam muncul di pikirannya. Bahagia yang 'tak terkira pun membuat Rukmini tidak mempedulikan hiruk pikuk di sekitarnya. Usai menikah, Sroedji langsung membawa Rukmini ke Jember.
Bulan berganti tahun sudah diarungi bersama oleh sepasang kekasih ini. Sehingga menghadirkan dua anak mungil, Pom sebagai Adik yang baru saja lahir dan Cuk sebagai Kakak. Sejak kelahiran kakak beradik ini cerita perjuangan tanah air yang menyelimuti mereka dimulai. Saat itu Jember sedang diramaikan oleh berita adanya perekrutan tentara PETA. Seorang teman Sroedji eks Hizbul Wathan mengabarinya melalui sebuah koran. Sroedji membawa pergi begitu saja koran itu. "Hei! Mau dibawa kemana koran itu?"
"Aku pinjam dulu, mau didiskusikan dengan istri!"
Begitu menghargai keberadaan istri, Sroedji tergopoh-gopoh membawa selebaran koran tersebut kepada Rukmini. Betapa bahagia kala respon yang diberikan Rukmini tidak sekalipun mematahkan semangat Sroedji. Justru, menyulut api semangat kian membara. "Kau punya mimpi jadi tentara agar dapat membaktikan tenagamu kepada rakyat banyak. Mungkin inilah saat yang tepat untuk mewujudkannya. Menurutku, jika ingin merdeka Indonesia pastinya membutuhkan pasukan tentara yang dapat diandalkan." Begitu dukungan dari hati itu dia anugerahkan kepada suami.
Bukan hal yang mudah, melepaskan suami pergi dalam kondisi baru saja melahirkan. Tetapi, demi Bangsa dia relakan Sroedji pergi. Dua pasang kekasih ini hanya berharap kelak anaknya tidak memiliki nasib yang sama. Berharap kelak mereka hidup di dalam negara yang sudah merdeka.
Setelah sekitar dua bulan lamanya Sroedji mengikuti pelatihan tentara PETA, dia kembali ke rumah dengan membawa gelar chuudanchoo (kapten), komandan kompi 4 di bawah Daidanchoo Suwito yang mendapat tugas membentuk Daidan I di Karesidenan Besuki, khususnya di Kencong.
Di depan menu makan malam yang sederhana itu, ditambah suasana hangat yang diciptakan oleh Cuk untuk memperoleh perhatian sang Bapak. Sroedji menceritakan pengalamannya selama mengikuti pelatihan. Kali ini, dia kembali mengagumi kepintaran sang istri. Saat Rukmini mengutarakan analisisnya mengenai intruksi yang diberikan oleh Jepang kepada para perwira.
"Bukankah daidan nantinya untuk kepentingan Jepang juga, Pak? Menurutku, Jepang sengaja agar tidak ada koordinasi antara satu batalion dengan batalion yang lainnya. Itu taktik Jepang agar para perwira didikan mereka itu tidak menjadi ancaman. Jika ada salah satu daidancho memberontak, maka dapat dilokalisir dan cepat ditangani oleh Jepang, Pak."
Ya, Jepang memberikan intruksi kepada para perwira untuk mendirikan daidan di masing-masing kota yang sudah dilist oleh Jepang. Setidaknya ada sekitar 70 daidan yang akan menerima fungsi taktis operasional dari perwira Jepang dan tugas lainnya yang bersifat administrasi logistik. Setiap batalion merupakan kesatuan militer yang berdiri sendiri dan tidak memiliki organisasi yang lebih besar. Karena hal inilah Rukmini mencium bau busuk strategi Jepang, bahwa mereka sengaja memberikan sekat antar batalion agar tidak terjadi koordinasi, yang nantinya akan menciptakan ancaman dalam jumlah massa yang besar. Jepang khawatir antar batalion merencanakan sebuah penghianatan yang mematikan.
"Benar, juga, ya, Bu ... Pendapatmu sangat masuk akal," ujar Sroedji dengan nada memuji.
Kali ini, Sroedji menyayangkan kepintaran sang istri yang tidak memperoleh akses. Dia merasa bersalah telah menyeret Rukmini dalam sebuah pernikahan, alih-alih kehidupan keluarga juga sangat sederhana. Bisa dibilang kurang. Kok mau melanjutkan pendidikan, untuk makan sehari-hari saja Rukmini harus berhemat betul. Tetapi, rasa bersalah Sroedji lagi-lagi ditepis oleh respon Rukmini yang berhasil membesarkan hati Sroedji.
"Tak apa, Pak ... jauh hari aku malah sudah melupakan cita-citaku. Hidupku sekarang untuk Bapak, untuk anak-anak, untuk kita. Sebagai istri prajurit yang bertanggung jawab atas keselamatan bangsa, aku akan selalu di belakangmu, mendukungmu sampai merdeka negeri ini," ujar Rukmini dengan nada tegas.
Sebagian perempuan mungkin menilai bahwa mental rukmini untuk meraih cita-citanya adalah ciut, mental tempe. Jika bisa berjalan berdampingan, kenapa harus di belakang? Jika bisa berjalan di depan, kenapa memilih di belakang? Apa sebagian dari kalian, perempuan, telah menilai bahwa Rukmini telah didiskriminasi oleh perasaannya sendiri dengan memilih di belakang Sroedji? Mohon maaf, untuk kalian yang berpikir begitu saya perlu meluruskan.
Rukmini menanggalkan cita-citanya bukan karena cintanya belaka kepada Sroedji. Lebih dari itu, cinta kepada Bangsanya jauh lebih besar. Begitu pula cinta kepada anak-anaknya. Terlebih Rukmini sadar bahwa lingkungannya tidak memberikan akses. Apalagi, keadaan keluarga yang serba kekurangan tidak memungkinkan untuk memfasilitasi Rukmini. Dia memilih berperan di belakang suami. Lagi pula tidak ada yang tahu bukan, bahwa sumbangsih pikir dalam gerakan Sroedji juga berasal dari Rukmini. Bagiku dia telah bersikap adil kepada keadaan dan orang-orang di lingkungannya.
Pada masa penjajahan Jepang, boleh saja Rukmini berdiam di rumah menunggu Sroedji pulang. Setelah Jepang enyah kemudian datang Inggris lalu berganti Belanda, Rukmini tidak lagi hanya duduk diam di rumah. Dia ikut turun di gelanggang perjuangan. Kisah ini dimulai tatkala Perang Gerilya dimulai. Untuk bertugas di lapangan dengan tenang dan fokus, Sroedji harus memastikan terlebih dahulu bahwa keluarganya berada dalam kondisi aman. Sehingga sebelum berangkat bergerilya, Sroedji menyembunyikan keluarganya di sebuah rumah kosong sebelah rumahnya. Tidak banyak barang yang dibawa hanya peralatan yang dibutuhkan untuk keperluan sehari-hari. Sroedji menghembuskan kabar ke permukaan bahwa dia dan keluarganya telah keluar dari Jember. Kabar itu sengaja dibiarkan ditiup angin, supaya didengar oleh Belanda. Pasalnya, dalam situasi seperti ini keluarga pejuang menjadi incaran, terlebih keluarga seorang komandan.
Ternyata, 'tak hanya belanda yang menerima tiupan angin tersebut. Tetapi juga sekelompok kawanan maling, yang terpaksa mengambil hak orang untuk melangsungkan hidup. Malam itu buta sekali, hanya sebuah lampu teplek yang menerangi rumah persembunyian. Rukmini dari balik jendela mendengar langkah kaki yang begitu ramai, lalu mengintipnya. Buru-buru dia mematikan lampu templek dan mengamati gerak-gerik maling yang sedang menjarah rumahnya. Rukmini hanya bisa menonton, dia perhatikan lamat-lamat semua barang berharganya. Habis, 'tak tersisa. Di saat seperti ini, dia mengingat Sroedji. "Andai Bapak di sini, pasti harta benda kita bisa dipertahankan." Begitu aku baca raut wajah Rukmini yang tergambarkan dalam cerita. Ini bukan satu-satunya situasi buruk, ini adalah awal perjuangan yang memberikan akhir mengenaskan kepada Sroedji. Tapi, sampai akhir namanya tetap mulia.
Kejadian rumah dijarah maling usai, Rukmini kembali harus berjuang. Kali ini bukan hanya dengan jiwanya, jiwa yang kala itu meronta melihat wajah garang para penjarah. Yang tiada ampun melumat habis harta bendanya. Kali ini, lebih parah, raganya pun ikut terluka.
Pada suatu malam, saat sholat Isya' usai dia tunaikan. Sroedji mendapat kabar tidak baik dari salah seorang mata-matanya. Bahwa hampir wilayah Jember telah diduduki belanda. Bahwa strategi yang digunakan oleh belanda adalah menangkap keluarga pejuang, lalu menyiksanya secara sadis untuk mengorek keberadaan pejuang. Sroedji sadar, bahwa banyak sekali pribumi yang menjadi antek-antek belanda, mereka penghianat. Karena itu, Sroedji langsung kepikiran dengan istrinya. Dia memerintahkan Rustamaji, Adik ketiga Rukmini yang juga ikut berjuang, bersamaan dengan Letnan Dua Marijo dan Sersan Joko Lolos untuk menjemput Rukmini beserta keluarga di Jember.
Awalnya, Rukmini keras hati untuk menerima perintah Sroedji. Perintah untuk mengungsi dari Jember ke Kediri, menempuh perjalanan 200 kilometer. Keras hati itu timbul karena dia mempertimbangkan kondisi perutnya yang sedang hamil tua, kondisi anak-anaknya yang masih kecil. Dalam hati kecilnya timbul kekhawatiran jarak sejauh dan sesulit itu tidak mungkin bisa ditempuhnya. Tetapi, itu tak berlangsung lama, dia luluh ketika Rustamaji terus membujuk rayu, terlebih dia mengingat betul kekuatan firasat dari suaminya. Dia membiarkan Rustamaji membereskan bawaan seadanya, lalu Rukmini membebet perutnya dengan stagen panjang untuk menopang janin dalam kandungan.
'Tak pelak, baru beberapa menit mereka keluar dari rumah, sudah terdengar arak-arakan serdadu belanda lewat. Mereka bersembunyi di balik parit, memperhatikan satu persatu serdadu belanda tersebut turun dari kendaraan dan mengacungkan senjatanya ke arah rumah Rukmini. Mereka terlambat, semua penghuni rumah justru sedang mengamati tingkah bringas mereka dari kejauhan.
Setelah dirasa aman, mereka melanjutkan perjalanan. Mereka memilih jalan memutar, melewati pegunungan, jalur yang jauh dari daerah kekuasaan belanda. Meski lebih jauh dan medannya tidak ringan, tetapi itulah jalur yang aman. Sebab melewati kota itu artinya bunuh diri.
Prajurit yang mengawal Rukmini dan keluarga, merasa iba kepada Ibu dan anaknya Rukmini yang sudah kelihatan lesu dan begitu lelah. Karena itu mereka berhenti di Madiun. Sedang Rukmini, Rustamaji dan kedua prajurit tersebut melanjutkan perjalanan. Empat kilometer lagi, melewati satu bukit mereka berempat sudah sampai tujuan. Tetapi, Rukmini berkata tidak bisa melanjutkan perjalanan. Ia meminta kepada Rustamaji untuk meninggalkannya saja, kakinya sudah tak kuat lagi melangkah. Terlebih janin di dalam perutnya sudah begitu lelah. Rustamaji terus memaksa Mbaknya itu melanjutkan perjalanan. Dia meyakinkan bahwa masih ada 3 anak lainnya yang membutuhkan kehadiran seorang Ibu, sedang Sroedji masih memerlukan dukungannya untuk menuntaskan amanah Bangsa guna mengenyahkan penjajah dari bumi pertiwi.
Rukmini mengelus janin di bayinya, memberikan kekuatan. Lalu dia bangkit kembali masih dengan asa yang sama. Beberapa langkah mereka meninggalkan tempat Rukmini terkapar, tiba-tiba sebuah granat jatuh dari helikopter belanda yang sedang berpatroli. Sontak Rustamaji melompat dan melindungi Mbaknya, Rukmini berada di bawah perlindungan sang Adik. Kemudian para biadab itu menghujani mereka dengan peluru, setelah yakin belanda sudah melewati hutan tersebut. Rukmini dan rombongan bangkit dari perlindungan dan melanjutkan perjalanan. Akhirnya, Rukmini sampai di tempat persembunyian Sroedji dan pasukannya, di Kediri.
Kalian mungkin berpikir Rukmini hamil tua dan sudah sampai di persembunyian bersama Sroedji, maka dia akan menikmati proses melahirkan di dampingi suami tercintanya. Kalian salah betul, tak kurang dari seminggu. Sroedji kembali meninggalkan Rukmini karena sebuah tugas. Kali ini Rukmini membujuk rayu supaya Sroedji setidaknya menunggu dia melahirkan. Sroedji lebih memilih bangsanya, pasukannya, dia tetap meninggalkan cintanya bertarung sendirian di persalinan. Maka, lahirlah anak keempat mereka yang bernama Puji Astutik.
Keadaan semakin pelik, beberapa kali pasukan Sroedji bisa mengelabuhi belanda tetapi beberapa kali pula mereka tersudutkan. Hal ini karena adanya seorang penghianat di dalam tubuh pasukan. Setiap strategi yang disusun pasti bocor ke pihak belanda. Sekali dua kali Sroedji bisa menghindar dari penghianatan tersebut, namun akhirnya. Yang paling akhir, dia jatuh dalam pelukan senjata belanda. Matinya mengenaskan, lebih mengenaskan dari sekedar penyembelihan hewan.
Rukmini, tak sampai hati aku mendeskripsikan bagaimana perasaan perempuan ini. Dia mengetahui kepergian Sroedji setelah beberapa bulan, bahkan tanah di kuburan suami yang paling dikasihnya itu sudah kering. Rukmini 'tak langsung mempercayai kabar yang dibawa oleh utusan pasukan Sroedji. Sebab, kabar burung seperti ini telah menjadi makanannya, selama perjuangan berlangsung. Propaganda yang sengaja diciptakan oleh belanda untuk melemahkan mental keluarga pejuang dan masyarakat. Tetapi, setelah beberapa kali memastikan, barulah Rukmini percaya. Untuk selanjutnya, dia menjadi perempuan yang berjuang seorang diri membesarkan keempat anaknya.
Sudah pasti berat, sudah pasti hatinya menjerit ditinggal Sroedji, kekasih yang begitu dicintainya, kekasih yang telah diam-diam bertahta dalam pikirannya, sejak saat itu, bahkan sebelum mengenal Sroedji. Tetapi, dalam tulisan ini, bukan poin itu yang ingin aku sampaikan. Melainkan karakter perempuan tegas, lugas, cerdas dan nasionalis yang melekat pada Rukmini. Ternyata, berjuang tidak hanya soal mengangkat senjata dan pena, tetapi yang lebih utama menyadarkan hati lalu pikir, kemudian memilih bentuk implementasi seperti apa adalah haknya. Rukmini, memilih hati dan pikirannya dikejawantahkan dalam gerakan Sroedji, membersamai diskusi, membersamai strategi. Rukmini, tidak dikenang karena istri dari seorang pahlawan. Tapi bagiku, dialah pahlawan sesungguhnya, seorang hebat yang telah berhasil memerangi dirinya sendiri, seorang yang bermartabat karena ketegasan, komitmen yang dia miliki dan seorang yang bijak karena tidak menuntut kehendak diri melainkan lebih memilih membersamai.
Terima kasih Rukmini telah hadir di tengah-tengah kami, membersamai segala juang Sroedji. Alfatihah untuk beliau berdua, semoga senantiasa ditempatkan di sisi-Nya yang mulia. Amin.
SB, Dari Balik Tabir Puan
21 Juni 2021

0 Komentar