Setelah aktivitas semalam suntuk, tidur 2-3 jam usai sholat shubuh, menyelesaikan urusan di imigrasi, lanjut makan semangkuk mie ayam sebelum tolak pulang ke Kencong. Sewaktu kami khidmah di cabang, teman-teman memperkenalkan mie ini dengan sebutan mie ayam legend. Memang khas sekali rasanya, meski terletak di pinggir jalan, warung ini selalu ramai pengunjung.
Sebetulnya, bukan soal mie ayam legend atau warung pinggir jalan. Tetapi, soal seseorang yang aku temui di sini. Ia menyapa dengan akrab, sedang aku mengingat wajah tetapi masih memutar otak siapa beliau. "Mbak Bella," tegur beliau sambil mengulurkan tangan untuk salaman.
"Hai, dari...., ya?"
"Iya, Mbak." Sekarang aku ingat asalnya tetapi masih lupa namanya.
Kami mengobrol dengan hangat, sambil menyantap demi sendok mie ayam di tengah gerimis kota yang tak kunjung usai. "Aktivitas di mana sekarang, Dek?"
"Saya di Bendahara Desa, Mbak."
"Alhamdulillah, sudah sukses berarti, ya?" Beliau menimpali hanya dengan senyuman. Kami lanjut makan. Setelah sama-sama selesai, kami hendak membayar. Tetapi, beliau mencegah dan bilang "Biar saya yang bayar, Mbak."
"Be, kenapa gitu, Dek?"
"Mbak Bella dulu pernah ngasih ilmu ke saya."
"Eh, kapan, Dek?"
"Iya, dulu Mbak Bella pernah ngisi materi di lembaga saya."
Beliau kemudian berlalu menghampiri penjual untuk membayarkan mie ayam dengan beberapa pernak-perniknya yang dimakan olehku dan Mella. Mella kemudian bersuara "Hanya Mbak Bella senior yang dibayari juniornya." Aku hanya tersenyum.
Bukan soal semangkuk mie ayam gratis atau soal senior yang dibayarin junior. Melainkan soal beliau yang tidak seberapa intens komunikasi tetapi mengingatnya hingga ke hati nurani. Mbak Bella sungguh ridho, semoga kamu senantiasa sukses dunia dan akhirat, Dek.

0 Komentar