Refleksi Tahun 2021
Kali ini benar-benar merupakan kisah yang ku tulis di penghujung
Tahun. Awalnya, adalah cerita yang ingin ku bagi dengan kalian adalah tentang
dinamika hidupku yang begitu menguji nikmat Iman dan Islam. Perkara yang sudah
pasti juga dirasa oleh setiap yang bernyawa. Naasnya, untuk beberapa kali aku
masih menyangkal itu semua. Bahwa aku lah yang paling menderita, bahwa hanya
aku lah yang kehilangan, bahwa hanya aku lah yang berjalan dengan dua kaki
tetapi berasa pincang. Kemudian aku mengklaim diriku sebagai mahluk paling tida
berdaya. Betapa kala itu aku begitu berkhianat atas kekuatan dan kasih sayang
Tuhan. Semua rasa bak diri adalah Tuhan, karena menyangkal dengan sebuah penderitaan
dan bersikeras dengan kebahagiaan. Rasa itu, ku peroleh saat aku kehilangan
perempuan terhebat dalam hidupku. Seseorang yang bakal mendahulukan aku dalam
segala hidupnya. Ah, aku tidak ingin berpanjang lebar berkisah tentang beliau.
Kalau tidak, aku harus terpaksa menulis dengan uraian air mata. Aku hanya ingin
menegaskan bahwa aku sangat mencintai beliau.
Lebih dari itu, tentang kisah mengenaskan soal menahan rindu kepada
almarhumah Ibu. Aku memiliki kisah yang berkali-kali mengundang pilu. Mungkin
hanya tentang dua hal inilah yang mampu mengundang air mataku. Selain, cinta
lainnya yang tergores. Tidak, bahkan semua perkara yang terluka ini adalah
sebab cinta. Cinta yang memintaku untuk menyadari, cinta yang memintaku untuk
berbuat, dan bahkan cinta yang memberikan kekuatan untuk bertahan. Maka cinta,
tidak sesempit kita memaknai rasa yang timbul sebab hubungan dua sejoli, atau
cinta yang dimaknai kebahagiaan saja. Memilih bercinta, itu berarti harus siap
terluka. Begitupun dengan cinta yang ku miliki, sepanjang tahun 2021 ini banyak
memberikan luka. Aku pun tidak berani berspekulasi bahwa itu merupakan ujian
atau cobaan. Sebab, Tuhan selalu memiliki caranya sendiri untuk memberikan
kasih sayang kepada hamba-Nya. Bisa jadi, karena sebab kasih dan sayang-Nya, Dia
berikan luka. Termasuk supaya aku tergerak menulis dan berbagi dengan kalian.
Apapun itu, aku selalu berusaha tidak menyangkal terhadap situasi yang Tuhan
kehendaki atas diriku. Sebab, jika kita berakhir dengan penerimaan maka hanya
kebahagiaan yang akan bersama kita. Meski sakit, kita akan senantiasa
bersyukur. Laa haula waa laa quwwa illa billah.
Sahabatku sekalian, malam ini adalah malam penghabisan Tahun 2021,
lalu kemudian di detik berikutnya merupakan awal dari 2022. Tadi siang, aku
nonton sebuah video di YouTube yang judulnya “Rewind Indonesia 2021”. Mbak
Najwa Shihab dalam video tersebut mengatakan bahwa negeri ini adalah negerinya
anak muda, jadi tantangan yang dihadapi harus berani disuarakan oleh anak muda,
termasuk tentang kegelisahan yang dirasa akhir-akhir ini. Sebab statment yang
disampaikan Mbak Nana tersebut, aku memberanikan menulis tentang Pertiwi
yang belum kembali pada Pribumi. Tentang semua kegelisahan yang ku rasa
sepanjang Tahun 2021, atau mungkin hanya sebuah kisah di penghujung Tahun,
tetapi mewakili problem dan rasa dari semuanya.
Adalah yang masih lekat dalam ingatan, perjuangan Letkol Moch.
Sroedji dalam mempertahankan pertiwi. Meninggalkan anak-anaknya beserta istri
yang bernama Rukmini. Untuk mengusir penjajah dengan strategi perang gerilya.
Namun, pengorbanan Sang Letkol berakhir dengan kematian yang mengenaskan.
Tubuhnya yang terluka parah masih diseret dengan truk di sekitar alun-alun
jembur, lalu bukan hanya menjadi luka, tetapi hancur itu jasad. Kemudian ada
Syaikhoh Rahmah El-Yunusiah dari Padang Panjang, seorang pejuang perempuan yang
menghendaki pendidikan untuk kaumnya. Lalu beliau dengan kekerasan hatinya
mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang bernama “Kulliyatul Banat”, hingga
saat ini kurikulum pembelajarannya diadopsi oleh Al-Azhar, Kairo. Bukan hanya
bencana alam yang menguji bangunan itu supaya berdiri kokoh, melainkan juga
intimidasi yang berasal dari para penguasa, dengan iming-iming yang menggiurkan
mereka selalu kekeh untuk mendekati Rahmah. Tetapi bukan Rahmahlah jika ia
tidak mencium bau busuk itu sejak dini. Karena itu dia enggan menerima bentuk
bantuan apapun dari instansi atau organisasi untuk perkembangan lembaganya. Dia
hanya akan menerima jika dari perseorangan. Maka untuk kemajuan lembaga itu,
dia memilih berdakwah ke luar kota bahkan ke Malaysia.
Lalu yang dekat sekali dengan kisah yang ku kenali, ada si Ibu
Pribumi, Raden Ajeng Kartini. Aku berkata dekat karena buku kedua yang berkisah
tentangnya sekarang sedang bertengger di samping leptopku ini. Belum selesai ku
baca, arungan kisah masih sampai ku nikmati
di halaman 109. Tidak ada soal, sekelumit kisah tentangnya yang ku adopsi dari
buku pertama, film atau bahkan buku kedua ini sudah membuatku mengangkat topi
untuk perempuan pemberani yang satu ini. Bukan hanya penjajah yang dia lawan,
bahkan bangsanya sendiri dari kalangan feodal. Atau bahkan upaya penyadaran
kepada kaum bawah adalah bentuk perlawanan itu sendiri. Kartini selalu melawan
hal-hal yang ‘tak manusiawi. Jika selama ini ia dikenal sebagai tokoh yang
memperjuangkan hak perempuan untuk memperoleh pendidikan, itu terlalu sempit.
Sebab, tidak hanya itu yang diperjuangkan Kartini. Banyak kegelisahan yang dia
rasakan terjadi di lingkungannya, termasuk bagaimana sekat yang bertengger
antara kaum feodal dan kaum bawah, antara orang tua kepada anak, antara sesama
saudara.
Dalam kehidupan ningrat yang dia rasakan, semua tidaklah manusiawi.
Karena itu, salah satu nilai yang dia perjuangkan adalah persamaan. Dia juga
melihat bahwa waktu itu, para pejabat pribumi tidaklah memiliki tanggung jawab
melayani kepada rakyatnya, justru rakyatlah yang harus melayani mereka, bahkan
menyembah. Atas semua kegelisahan ini, Kartini kemudian memulai kehidupan yang
manusiawi dari dirinya sendiri yang juga berasal dari keluarga ningrat. Di mana
dia menepis sekat yang ada antara dia dan adik-adiknya, ketika lepas dari
pingitan, dia juga mnegunjungi rakyatnya dan sesekali bergaul dengan mereka.
Perjuangan Kartini mungkin tidak se tragis perjuangan Letkol Moch. Sroedji,
tetapi kenyataan yang perlu kita garis bawahi adalah bahwa mereka semua
berjuang supaya Bangsa ini terhindar dari penjajahan, sekalipun belum dapat
hidup makmur.
Lalu bagaimana dengan kita sekarang? Sudahkah kita mneghargai semua
perjuangan itu meski hanya dengan tidak kembali membuat kerusakan? Naasnya,
tidak semuanya mampu memberikan apresiasi. Sebenarnya ini bukan soal kemampuan,
melainkan kemauan. Mereka tidak mau saja mempertahankan dengan apa yang sudah
diperjuangkan. Mereka tidak seperti Rahmah yang menolak pemberian demi kemajuan
Bangsa yang idealis. Mereka tidak seperti Letkol Moch. Sroedji yang berjuang dengan
meninggalkan keluarga, mereka memilih mengenyangkan perut dulu bahkan berlebih
baru mau ngomongin rakyat, bahkan sudah jelas saja mereka sudah duduk di kursi
kuasa sebab kepercayaan rakyat. Mereka tidak seperti Kartini, yang berani
berkata salah dan melakukan yang benar, mereka selalu mencari aman atas sebuah
kesalahan. Mereka itu adalah kita semua, Bangsa Indonesia yang hidup di masa
sekarang. Kita adalah satu kesatuan sistem yang bakal menentukan sampai kapan
Indonesia akan bernyawa. Mungkin, tidak mati sebab ketiadaannya sebagai sebuah
negara, tetapi kematian itu disebabkan kita tidak lagi menggunakan hati nurani
hingga meneggelamkan semua nilai kemanusiaan. Betapa kita berdosa atasnya.
Beberapa hari lalu, saat aku mneyusuri jalanan lintas selatan. Aku
jumpai sebuah pemandangan baru yang ‘tak manusiawi. Kolam luas tempatku
bermandikan air asin dari Tuhan itu sekarang sudah berubah menjadi bangunan
beton di sepanjang pesisirnya. Aku ‘tak menemukan lagi jalan menyusuri kenangan
bersama almarhumah Ibu di sana. Meski aku tidak mengetahui betul bagaimana
akibat yang bakal terjadi, tetapi tumpukan semen dan batu itu cukup membuatku
menjadi manusia tak berarti. Sebab, pertiwi telah dieksploitasi. Tidakkah ada
yang bisa mengerti perasaanku ini? Pedih semakin kuat ku rasa saat pribumi ikut
andil bahkan menjadi pemeran utama. Bumi yang telah dijuangkan, kembali
dimiliki Bangsa lain. Inilah bumi Indonesia yang ‘tak sebenarnya mnejadi milik
Bangsa. Siapakah yang sedang menipu kita? Adalah pribumi yang membawa pertiwi
ke meja judi.
Lain waktu pula, mataku dibuat sakit sebab pemandangan sebuah
bangunan megah nan mewah yang terletak di tengah sawah. Kalau tidak salah,
warna tembok merah menambah bangunan itu tampak begitu cerah meski dari
kejauhan. Sepertinya, dia menjadi satu kesatuan dengan operasi pengerukan yang
sedang berjalan di gunung kapur itu. Maka, jika begitu, bisa dipastikan pula,
dia bukan milik pribumi. Terasingkan lagi kita dari kekayaan alam. Tetapi,
bahkan pribumi yang menyadari bahwa itu hanya akan berakhir dengan kerusakan,
tidak lah mereka sampai hati melakukan pengerukan. Lalu, perut siapa yang
sebenarnya sedang kita keyangkan? Sadarlah dari pembodohan yang berkepanjangan!
Masih soal lingkungan, sekitar dua hari yang lalu, aku melihat postingan
salah satu teman di story IG. Sebuah video yang sedang memperlihatkan masa aksi
perempuan sedang dibubarkan paksa oleh sekelompok polisi. Bahkan, aparat ini
tidak segan untuk melakukan tindakan represif, seorang anak kecil ditarik paksa
dari pelukan Ibunya. Ini yang paling bikin aku jengkel. Selain itu, pembubaran
itu rupanya berujung pada penahanan 8 aktivis. Kita yang sedang bersuara,
justru dijadikan tersangka, demokrasi macam apa ini?
Beranjak pada lain isu. Soal diskriminasi gender, entah berbentuk
pemerkosaan ataupun pelecehan seksual. Sudah menjadi warna yang gemilang di
Tahun 2021. Baru-baru yang terjadi adalah kasus Novia, pemerkosaan dalam
hubungan pacaran itu berakhir dengan kematian. Novia memilih bunuh diri, sebab
dia yang sebagai korban justru mendapat banyak kecaman dari lingkungannya. Dia
tidak diterima dan tersudutkan. Lalu banyak lagi kasus pemerkosaan yang tidak
bisa aku sebutkan satu persatu, selain saking banyaknya, emosi selalu berganti
dengan isu baru yang terhidang, sekalipun isunya sama.
Diskriminasi ini tidak hanya dilakukan oleh orang jauh, tetapi juga
kepada orang terdekatnya, bahkan seorang bapak yang memperkosa anaknya adalah
hal yang tidak aneh lagi dewasa ini. Baru-baru ini, akun twitter dibuat rame
sebab pernyataan seorang suami yang menarasikan pelecehan seksual yang dialami
istrinya. Si pelaku adalah orang yang pernah memiliki jabatan penting dalam
sebuah organisasi, ditambah lagi dia adalah salah seorang aktivis yang meolak
pelecehan seksual. Ternyata semuanya hanya kedok, manipulatif.
Begitulah pertiwi tidak sebenarnya memberikan ruang aman dan nyaman
bagi pribumi. Memastikan hidup ini adalah panjang untuk generasi mendatang, tidaklah
sebenarnya dilakukan. Pada kenyataannya, kita sampai pada kesepakatan bahwa
Pertiwi Belum Kembali pada Pribumi. Entah belum, atau memang selama ini tidak
pernah. Kita harus tinggal pada bumi yang selalu menghadirkan sisi kemunafikan
dan penghianatan. Sekali lagi, sadarlah dari pembodohan yang berkepanjangan!
SINTA BELLA
Yang selalu
mendambakan kemerdekaan
Jember, 1
Januari 2022
0 Komentar